Tak seorang pria manapun yang senang ketika melihat wanitanya menangis di hadapannya.
"Bima, jawab dong.. Aku harus gimana ?" Sambil menghapus air matanya, namun masih saja tak bisa berhenti menetes. "Kamu seneng liat aku nangis kayak gini ?"
Bima pun memegang wajah gadis itu, lalu menatapnya.
Kini, giliran pria itu untuk berbicara.
"Dengerin aku.. Gak ada seorang pria manapun yang senang ketika melihat wanitanya menangis dihadapannya."
"Trus, kenapa kamu cuma diem aja ? Kamu sengaja mau balas aku ? Gara-gara aku marah sama kamu dan diemin kamu ? Iya ?"
"Naiara, dengerin aku.. Aku belum selesai ngomong.."
Naiara pun kembali menunduk.
"Aku diam bukan karena apa yang udah kamu lakuin ke aku. Bukan, Naiara. Dan hal itu gak mungkin aku lakuin juga."
"Trus apa ?"
"Aku cuma mau memberikan kamu waktu sampai perasaan kamu membaik sendiri. Kamu tau aku kan ?"
Hal yang selalu Bima lakukan ketika Naiara menangis ialah diam dan hanya mendengarkan isakan tangis dari gadisnya itu. Ia tidak ingin menanyainya sebelum gadis itu sendiri yang berbicara terlebih dahulu padanya.
Daripada terus-menerus menanyainya tapi tidak bisa menghentikan tangisnya. Bukan solusi yang didapat, tapi malah tidak bisa membantu sama sekali.
Bima kembali mengangkat dagu Naiara, sembari menghapus air matanya.
"Jangan nangis lagi, ya ? Maafin aku, karena terlambat tuk temuin kamu." Sembari mengelus rambut gadisnya.
Lagi-lagi air mata Naiara menetes.
"Kamu curang, Bima. Kamu curang.. Kenapa selalu kamu yang lebih dulu minta maaf, padahal aku yang salah ? Seharusnya kamu marah sama aku, bukan kayak gini."
Bima tersenyum, lalu meraih tangan Naiara memeluknya. "Bagaimana aku bisa marah sama kamu, sementara aku aja gak tau caranya."
"Maafin aku, Bim.. Aku marah sama kamu bukan karena kamu udah ngebohongi aku. Tapi aku cuma takut, kalau suatu waktu kamu bakalan ninggalin aku karena lelah ngehadapin egonya aku."
"Nggak akan. Apapun yang terjadi, aku bakal usahain tuk selalu ada buat kamu. Meskipun aku gak tau seperti apa aku buat kamu. Meskipun berkali-kali kamu mengusir aku tuk menjauh pun, aku bakalan tetap menepati janji aku tuk jagain kamu, Naiara."
Kalimat penenang yang terucap didepan mata. Siapapun yang mendengarnya akan luluh dalam sekejap.
Masalahnya, masih adakah pria seperti itu.
***
Bukannya langsung pulang, mobil yang dikendarai oleh salah satu seorang pasien yang baru saja keluar dari rumah sakit tampak terparkir di depan sebuah bar.
Setelah ditelusuri hingga ke dalam, seorang Arvin tengah duduk di meja bar menunggu pesanannya.
Pria itu tidak perduli dengan suara keributan yang ada disekitarnya. Yang dibutuhkannya hanyalah meminum minuman yang bisa menenangkan pikiran kacaunya saat ini.
Pikirannya masih tertuju akan kejadian tadi sewaktu di rumah sakit. Masih teringat jelas bahwa dia sangat marah.
Namun, jika jujur dari dalam hatinya, sebenarnya ada rasa penyesalan terhadap gadis itu. Tidak seharusnya ia berkata kasar kepada gadis itu.
Arvin bukannya marah kepada Naiara. Tapi ia marah pada dirinya sendiri. Ia gagal karena tidak bisa menepati janjinya.
Ia membiarkan dirinya terluka sementara gadis itu menghilang diwaktu bersamaan. Bagaimana bisa dia menjaga seseorang yang dicintainya, sementara menjaga dirinya saja tidak bisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN
Teen Fiction"Oyy.. ! Lo manusia apa bukan ?" Teriak seseorang yang tidak jauh dari belakangnya. Dengan cepat, Naiara menghapus air matanya. Seseorang itu pun mendekati Naiara. Ia tidak terlihat seperti dalam kondisi sadar sepenuhnya. "Ooh, ternyata lo manusia."...