14. IRT, pakai ART, atau ikut aku?

240 17 0
                                    

Pagi ini Ami bangun lebih awal untuk mencuci pakaian. Ketika adzan Subuh berkumandang, ia meninggalkan cuciannya sesaat untuk membangunkan Pam di kamar.

"Mas, bangun." ucap Ami seperti biasa sambil menepuk-nepuk pipi suaminya itu perlahan.

Mata Pam memicing ketika ia menyadari sesuatu. "Tangan kamu kok wangi? Udah mandi?" tanya Pam.

"Enggak, aku lagi nyuci." Ami berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu diikuti oleh Pam.

Pam berdiri di depan kamar mandi dan bersandar di dekat pintu sambil memperhatikan Ami.

"Kamu kenapa nyucinya pagi-pagi banget, Dek?" tanya Pam ketika Ami baru saja selesai mengambil wudhu.

"Biar nanti ngejemurnya gak kesiangan,"

"Dingin, Dek... Nanti kamu masuk angin, Mas gak mau ya." suara Pam terdengar sedikit menyeramkan menurut Ami.

"Ya udah, Mas mending wudhu dulu sana." Ami mengalihkan pembicaraan. Ia berjalan menuju tempat shalat.

Selesai melaksanakan ibadah, Ami langsung berjalan menuju dapur untuk melanjutkan mencuci baju yang sempat tertunda tadi. Diam-diam Pam mengikutinya dari belakang.

"Mas Pam? Ngapain di situ? Kok gak tidur lagi?" kaget Ami ketika melihat suaminya itu tengah duduk sambil memandang ke arahnya.

"Nemenin kamu," jawab Pam sedikit cuek.

Ami memutar bola mata jengah. Ia mencuci tangannya menggunakan air mengalir lalu berjalan mendekat ke arah Pam.

Ia menangkup wajah Pam ditambah dengan tatapan penuh cinta. "Mas... Kenapa sih? Aku gak boleh nyuci sepagi ini? Karena takut aku sakit? Iya? Hm? Kamu marah? Yang aku lakuin sekarang salah ya?"

Pam menatap wajah Ami lekat-lekat. Tangan Ami berpindah menjadi mengalungkan di pundak Pam. Terlihat seperti manja.

"Aku khawatir aja, Mi. Mas gak mau kamu kenapa-napa..." jawab Pam mulai melunak.

Ami tersenyum penuh arti sambil merapikan rambut Pam yang sedikit acak-acakan itu. "Mas tenang aja ya? Aku bakal baik-baik aja. Cuma nyuci, Mas. Segitunya banget sih,"

Pam memeluk badan Ami yang sedang berdiri. Ia meletakkan kepalanya tepat di depan perut rata istrinya itu. Membuat Ami terkekeh sambil mengusap-usap kepala Pam dengan lembut.

Selama beberapa menit Pam memeluk Ami, setelahnya ia mengecup perut Ami cepat lalu ia melihat ke arah wajah Ami.

"Ya udah, kamu mau sarapan apa? Mas bikinin,"

Ami memegang dagunya menggunakan jari telunjuk sambil berpikir. "Hm... Apa ya? Apa aja deh, Mas masak apa aja bakal aku makan kok."

Pam tersenyum menampilkan deretan gigi kelincinya yang putih itu. "Oke deh, ditunggu ya, Mbak Ami."

Ami mengacungkan jempolnya dan berkata, "Oki, Mas Pam!"

Akhirnya, Pam masak untuk sarapan dan Ami mencuci pakaian. Berbagi tugas dalam rumah tangga itu indah, bukan?

Sekitar pukul enam pagi, Ami telah menyelesaikan seluruh cuciannya. Kini, Pam dan Ami tengah sarapan di meja makan.

"Hari ini Mas mau manggung, mau ikut gak?" tanya Pam di sela-sela ketika sedang mengunyah makanan.

"Jam berapa?"

"Manggungnya sore sih, tapi paginya mau latihan dulu."

"Di mana, Mas?"

"Apanya?"

"Manggungnya,"

"Di sini, di Jakarta. Gak keluar kota kok,"

Ami mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Ikut gak?"

"Enggak deh, Mas. Lain kali aja ya?"

Pam menghentikan aktivitas sarapannya. Ia menatap wajah Ami dengan raut wajah serius.

"Kenapa sih, Dek? Kali ini alesannya apa lagi? Sama kayak kemaren?"

Keadaan terasa mencekam sekarang. Ami merasa sedikit takut.

"Eum... I-itu, Mas..."

"Apa? Gak bisa jawab?"

Pam menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia menatap ke arah makanan yang ada di atas piring yang belum ia habiskan.

"Gini deh, Dek. Jadi, IRT, pakai ART, atau ikut aku?"

Pertanyaan itu. Akhirnya terlontarkan dari mulut Pam.

"Mas..." ucap Ami dengan nada lemah.

"Apa?"

"Aku mutusin buat berhenti kerja karena biar aku bisa ngurusin Mas, bisa ngurus rumah. Aku rela buat berhenti jadi wanita karir cuma untuk kebaikan rumah tangga kita. Aku mau belajar, Mas. Belajar jadi seorang ibu rumah tangga."

Pam mengusap wajahnya gusar.

"Iya, Mas ngerti, Dek. Mas paham betul soal itu."

Ami mengangkat sebelah alisnya tanda bahwa ia ingin Pam melanjutkan pembicaraannya.

"Mas rasa sebelum kita punya anak, alangkah baiknya kita habiskan waktu berdua, Dek. Buat kita, buat pacaran, berduaan. Oke, Mas tersentuh ketika kamu merelakan pekerjaan kamu itu dengan alasan yang sungguh mulia. Tapi, Mas mau sebelum kita punya anak, kita -"

Ucapan Pam terpotong karena Ami membuka suara.

"Oke, kalo itu yang Mas mau. Aku bakal turutin." ucap Ami tegas.

"Jadi?"

"Sewa ART aja, paling nanti aku gabut di rumah gak tau mau ngapain." kesal Ami.

"Ya kamu ikut aku dong, Dek??"

"Harus gitu, Mas? Ke mana-mana kamu pergi aku ikut? Gitu?"

"Iya dong, jadi buntut aku."

Ami mencibir sambil melipat tangannya di depan dada.

"Maafin Mas ya, Dek? Kesannya Mas kayak nuntut kamu banget. Tapi ini demi kebaikan kita berdua, Mi. Buat aku, kamu, dan kita. Biar hubungan kita gak renggang. Jangan sampe pokoknya Mas gak mau itu terjadi." Pam memegang kedua tangan Ami dan menatap Ami dengan memasang raut wajah bersalah.

"Iya, aku maafin. Aku maklumin kok kita 'kan baru aja nikah, aku juga mau kok abisin waktu setiap harinya berdua terus sama Mas."

"Sebagai permintaan maaf, Mas suapin deh. Okay?"

Pam mulai menyuapi Ami dengan penuh rasa cinta. Keduanya kembali tersenyum dan tertawa setelah melewati suasana yang menegangkan.

"Mas bersyukur dan merasa beruntung punya istri anak perhotelan jadi jago kalo soal beres-beres rumah. Tapi kalo udah kerja bisa lupa sama suami, nyebelin. Mas gak suka."

Ami tertawa. "Ya ampun, Mas, Mas..." ia geleng-geleng kepala.

"Bucin banget ya aku?"

"Parahhh," Ami memutar bola mata jengah.

"Ini tuh salah satu bentuk tanda kasih sayang aku ke kamu lho, Mi."

"Iya-iya, aku tau Mas sayaaang banget sama aku."

"Love you, Dek. Jadi, hari ini ikut Mas ya? Kita berduaan terus seharian, siap?"

"Yes, I'm ready!!" jawab Ami bersemangat. Membuat Pam tersenyum senang.

•••

Vote comment yaaa makasihhh

Future Is BrightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang