Chapter 10

211 24 6
                                    

Seperti biasa di pagi hari James selalu membuat sarapan untuk dirinya sendiri dan untuk Sean. Dan juga seperti biasa Sean selalu bangun terlambat. James sampai harus mengetuk pintu kamar pemuda itu berkali-kali agar segera beranjak. Tapi sepertinya Sean sudah sangat mencintai kasurnya.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu apartemen, tapi detik berikutnya pintu tersebut terbuka karena memang tidak terkunci. Terlihat Anne melangkah masuk dengan senyuman secerah matahari pagi. Di tangannya ada beberapa bag papper yang sepertinya berisi barang belanjaannya.

"Selamat pagi James," serunya sembari menghampiri pria yang sedang melakukan rutunitas di area dapur. "Apa Sean masih tidur?" tanyanya.

"Lihat saja sendiri, bahkan pintu kamarnya masih terkunci. Dia mabuk semalaman. Kau harus sering menasihatinya agar tidak meracuni dirinya seperti itu lagi," jelas James sembari memotong sayur bayam yang akan direbusnya.

Anne menarik kursi lalu didudukinya sambil menekuk wajahnya lemah. "Selama kami bersahabat, hanya Sean dan aku yang tidak pernah melakukan hal bodoh. Tapi kali ini kelakuannya persis seperti Max, tapi aku bersyukur dia tidak sampai mempermainkan hati perempuan," beritahunya.

James tersenyum tipis serta menghentikan kegiatannya. "Jika dia menyakiti hati seorang perempuan, sama saja dia menyakitimu bukan?"

Alis Anne terangkat. "Benar juga! Tapi Max?" tanyanya.

"Kurasa pikirannya masih pendek meskipun dia lebih tua darimu dan Sean," terangnya.

Anne hanya mangut-mangut mengerti. "Bolehku bantu?" tanyanya.

"Oh, tentu saja. Sarapan akan siap lebih cepat."

Beberapa saat setelah mereka menyiapkan sarapan, tiba-tiba Sean datang dengan pakaian yang sudah rapi serta wajahnya sangat gembira. Entah apa yang sedang merasuki pemuda pagi ini.

"Selamat lagi," seru Sean. Ia tersenyum ketika menyadari Anne ada di sana. Tapi sayangnya gadis berambut panjang itu hanya menatapnya malas.

"Aku bersyukur kau tidak bunuh diri," kata Anne.

Sean menyipitkan matanya. "Aku tidak punya alasan untuk bunuh diri saat ini," katanya santai lalu mengambil sebiji apel dari keranjang buah dan langsung digigitnya.

"Kenapa? Apakah kau sudah berhenti memikirkan adikku?" tanya James agak menyindir sembari menuangkan sup panas ke dalam mangkuk.

"Tidak! Aku selalu memikirkannya, bahkan setiap saat," bantah Sean dengan santai lalu menarik sup yang James buat.

Sementara Anne terlihat bersedekap dada setelah mengelap tangannya dengan serbet. "Oh pangeran tidur! Kau harus membantu jika ingin mendapat sarapan." Ia mengangkat mangkuk itu dan menjauhkannya dari Sean. Pemuda itupun mendengus kesal.

Tapi James yang melihatnya hanya tersenyum kecil. "Yang dikatakan Anne benar. Sampai kapan kau akan bertingkah seperti anak kecil hah?"

Bola mata Sean berotasi mendengar omelan dari mereka. "Oh baiklah. Kalian bertingkah persis seperti orang tuaku," ejeknya lantas beranjak dari sana. "Aku bisa sarapan di luar. Jadi aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Selamat tinggal!" Sean membanting pelan pintu apartemen setelah melewatinya.

"Oh, apa yang dikatakannya?" Anne menggerutu menatap ke arah pintu. Lalu menatap James dengan rona merah di pipinya. "Maafkan ucapan Sean, mungkin dia hanya kesal," katanya malu-malu, bahkan ia tidak berani menatap James.

"Dia masih menjadi remaja labil, itu sudah biasa." James memberi Anne senyuman kecil.

Seketika dahi Anne mengkerut ketika melihat jemari James saat menunduk. "Cincin itu?" ujarnya.

DOPPELGÄNGER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang