#Jeno's_Eyes

1.9K 168 7
                                        

Tokoh dalam cerita ini adalah milik Tuhan, dirinya sendiri, keluarga masing-masing, dan SM Entertaiment. Saya hanya meminjam nama mereka untuk kepentingan cerita ini. Jika merasa cerita anda mirip saya tidak berniat mengcopy cerita anda karena ini murni dari imajinasi saya.

Warning : Typo bertebaran !

Check this out !

.

.

.

Doyoung tidak akan pernah menyangka bahwa seseorang yang ia harapkan akan mengetuk pintunya. Rasanya hatinya campur aduk melihat pemuda itu menebarkan senyum kepadanya. Doyoung tahu senyum itu memiliki banyak arti dan ia tidak akan pernah bisa mendiskripsikannya satu per satu. Meski beberapa ada yang mengandung luka.

"Di mana Minjeong?" tanyanya.

"Dia sedang pergi dengan Jimin. Apa mau aku menghubunginya untuk kembali?"

"Tidak, aku akan menghubunginya sendiri nanti. Jadi bisakah aku berbicara dengan Papa?" tanya pemuda itu.

Doyoung tersenyum dan mengangguk. Ia mempersilahkan pemuda yang memiliki tinggi hampir sama dengannya itu masuk. Akhirnya ia memiliki kesempatan yang ia nantikan sejak lama.

Jung Jeno atau Seo Jeno akhirnya mau bicara padanya.

Doyoung menghidangkan teh sebelum duduk di hadapan Jeno. Putra sulungnya itu memang mewarisi gari-garis wajah Appa-nya. Mengingatkannya pada mantan suami yang sudah lama berpisah darinya.

"Minjeong sepertinya hidup dengan bahagia bersama Papa."

"Kau sendiri bagaimana?" tanya Doyoung kemudian. Tidak ada yang lebih membahagiakan kecuali mendengar anak-anaknya sehat dan bahagia.

"Aku bahagia."

Doyoung tersenyum.

"Setidaknya sebelum Daddy mengatakan segalanya padaku."

Doyoung terperanjat.

"Aku pulang ke Korea bukan karena aku merindukan negara ini atau yang lain. Aku pulang karena Appa dan Papa. Aku ingin bertanya alasan sesungguhnya kalian berpisah bahkan saat Sungchan dan Minjeong baru lahir. Aku saat itu masih kecil dan pasti sangat egois. Aku membenci kalian tanpa alasan," kata Jeno kemudian menyesap tehnya.

Jeno bahkan mewarisi ketenangan Appa-nya.

"Tapi akhirnya aku mengerti bahwa sepertinya Papa sangat bahagia tanpa Appa begitu dengan Minjeong meski adik perempuanku itu tidak mengetahui keberadaan Appa," lanjut Jeno.

Hati Doyoung tersayat berkali-kali.

"Papa tenang saja, Minjeong sudah tahu keberadaan Appa. Ia berusaha menyempatkan waktu untuk menengok Appa, Sungchan dan aku di apartemen kami. Ia hanya tidak memberitahukan hal tersebut kepada Papa," lanjut Jeno.

"Jeno-ya, kenapa kau melakukan itu?" tanya Doyoung kemudian, ia sedikit marah karena anak-anaknya melakukan hal itu tanpa seizinnya.

Jeno tersenyum sendu, "Minjeong juga berhak tahu sebelum semuanya terlambat Papa. Ia berhak tahu bahwa ia punya seorang Appa yang menyayanginya seperti samudra yang luas. Aku hanya berpacu dengan waktu."

Waktu?

"Bukankah kita sama-sama bodoh? Meninggalkan seseorang yang bahkan cintanya tak pernah berhenti mengalir untuk kita."

Doyoung berkedip bingung, "Jeno-ya apa maksudmu?"

"Appa tidak pernah menikah lagi sejak berpisah dari Papa. Sepertinya ia juga mendukung Papa dari jauh tanpa sepengetahuan Papa."

Doyoung masih bingung dengan maksud Jeno yang mengatakan itu. Namun putra sulungnya sudah memainkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Minjeong-ah, kau di mana?"

"..."

"Baiklah, Oppa akan menjemputmu sebentar lagi. Appa ingin bertemu denganmu."

Kemudian Jeno memutus sambungan dengan adik perempuannya.

"Papa, boleh aku membawa Minjeong sebentar?"

"Kenapa Jaehyun ingin bertemu dengan Minjeong?" tanya Doyoung dengan nada bertanya karena terkesan mendadak sekali.

"Maafkan Appa, aku mewakilinya untuk minta maaf karena tidak bisa membahagiakan Papa saat itu. Dia sedang ada di rumah sakit dengan alat-alat medis terpasang di tubuhnya. Tolong biarkan ia bertemu dengan Minjeong untuk terakhir kali."

.

.

.

Mata Jeno terlihat sangat sedih. Doyoung mengerti itu, ada begitu banyak emosi yang disembunyikan Jeno. Salah satunya rasa bersalah kepada sang Appa yang Doyoung tidak tahu seberapa dalam rasa bersalah itu. Yang lainnya luka yang ia dapatkan setelah mengetahui segala rahasia yang disembunyikan bertahun-tahun darinya. Tapi Jeno sepertinya dididik dengan baik oleh Johnny dan Taeil di Amerika karena putra sulungnya itu sangat dewasa.

Mata Jeno menyimpan banyak rasa sakit.

Doyoung menghela nafasnya,  sekarang ia menfokuskan pikirannya kepada kata-kata Jeno. Kalau pemuda itu berpacu dengan waktu dan Minjeong harus bertemu Appa-nya untuk terakhir kali. Doyoung menahan nafas ketika ia menyadari sesuatu. Jaehyun tidak mungkin pergi ke luar negeri untuk tinggal karena ia punya bisnis yang menopang  perekonomian negara.

Jadi Jaehyun sedang sekarat?

Doyoung mengacak surainya frustasi karena ia malah memikirkan kemungkinan terburuk itu. Namun dari kata-kata Jeno yang menyebut kata "terakhir kali". Maka kemungkinannya sangat besar.

Doyoung ragu untuk menghubungi Minjeong atau Jeno.

Jika Doyoung tidak melakukannya maka ia tidak akan ada di samping anak-anaknya disaat terberat dalam hidup mereka.

Juga ia tidak akan pernah melihat Jaehyun lagi.

Doyoung pada akhirnya hanya menatap ponselnya.

.

.

.

End.

Sepertinya hawa dingin dan meriang inu memperparah suasana angst-ku.

Anyway. Ini sebenernya long story tentang family JaeDo dengan Jeno jadi sulung.  Terus Winter sama Sungchan jadi adeknya. Tapi aku males ngetiknya jadi aku kasih satu potongan adegannya. Hehe.

Riview Juseyo!

See you soon!

RandomPlay (JaeDo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang