Andrew sebenarnya sudah merasa khawatir sejak Byan belum terlahir. Semua anaknya sehat dan tumbuh dengan baik. Tapi entah mengapa, saat dokter mengatakan bahwa Liana hanya akan dianjurkan untuk berhenti hamil setelah kehamilan Byan, yang sebenarnya sudah dianjurkan untuk mengorbankan janin Byan saat itu.Byan sudah diprediksi menjadi bungsu meski pun mereka masih belum mengetahui rencana semesta.
Dan benar saja, Dokter yang bertanggung jawab dalam menangani Liana dibuat begitu emosional hari itu, di bulan Juli, di siang hari menjelang sore. seorang bayi terlahir prematur.
Dan mereka kehilangan sang ibu pemilik senyuman hangat.
Andrew khawatir akan apa yang Byan turunkan dari istrinya. Dokter sudah mewanti-wanti tumbuh kembang Byan. Kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Malaikatnya itu benar-benar kopiyan mendiang ibunya. Saat pertama kali menatap netra hitam kelam milik Byan. Andrew tau ia akan membayar segala perjuangan istrinya lewat anak itu.
"Byan, minum?" Byan tak mendengarnya, masih sibuk menggoda kakaknya yang sedang terfokus pada benda persegi pipih di pangkuannya.
"Byaan~~ Byanice?? Hei, papah di sini nak.." Andrew mencoba memanggil lagi.
Sean terkekeh geli. Napas Byan menabrak lehernya, Byan menatapnya begitu dalam seolah akan melahapnya bulat-bulat. "Papah By mau makan Sean!" Andrew menggeleng. Menggapai tubuh kecil itu agar kembali kepelukannya.
"Selesaikan dulu makanannya Sean, letakkan gadgetnya.." Sean cemberut, tetapi tetap menuruti perintah papahnya.
Ia tak punya banyak waktu untuk bermain bersama papahnya, papahnya sedang sibuk mengurusi masalah uang dan kendaraan jadi waktunya bermain dengan papah hanya saat waktu makan siang tiba.
Selebihnya mereka akan didampingi asisten masing-masing atau yang biasa disebut dengan nanny.
Kedua kakaknya tak bisa ikut berkumpul siang ini karena jadwal sekolah mereka yang belum tuntas di sabtu ini. Salah kan perbedaan sekolah mereka, jadi tak semua bisa berjalan bersama. Sean pun akan mengikuti jejak kakak-kakaknya tahun depan. Ini tahun terakhirnya di sekolah dasar, makannya papah tak mengizinkannya bermain lama-lama dan hanya bermain gadget apabila ada di dekat papah.
Saat makan siang mereka telah habis Byan kembali mencoba menggapai Sean. Tapi tak begitu bersemangat seperti sebelumnya. Andrew memperhatikan itu.
Byan sering begitu kelelahan hanya dengan kegiatan yang tak terlalu berat.
Terbatuk-batuk setelahnya, dadanya naik-turun mengais udara. Meski pun tertawa, Andrew tahu ada yang tak beres dengan putrinya itu.
"Klitik Byaaann.." Sean membalas dengan membenamkan kepalanya di perut Byan, menggoyangkannya hingga anak itu terjengkang dan tertawa kegelian.
Pintu ruangan Andrew diketuk, "Masuk." Sahut Andrew dengan mata yang tak beralih memperhatikan kedua anaknya, takut-takut salah satunya berguling dari sofa karena terlalu asik bermain bersama.
"Kalian sudah datang? Ini waktunya?" Andrew sedikit tak percaya waktu berlalu lebih cepat dari yang dirasakannya, tapi saat memeriksa jam di pergelangan tangannya, ia mengangguk juga.
Sean merengek tak suka saat melihat nannynya berdiri di depan ruangan papahnya dengan kawan-kawannya. Andrew berbalik untuk menyiapkan anak-anaknya. Mereka akan berpisah lagi dan kembali bertemu di jam malam. Byan belum terlalu mengerti dan terus meminta balasan dari kakaknya.
"Bawa sandal Sean? Sepertinya kita harus cari sepatu lain dengan bahan yang lebih bisa membiarkan udara masuk. Kakinya berkeringat saat datang." Hal kecil sekali pun tak luput dari pengamatan papah Andrew.