H
E
L
L
O.
.
.
.
Selamat membaca!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
No typo no life.
.
.
.
.
.
.
.
.
Byan terbangun dengan kepala yang terasa begitu berat. Matanya perlu mengerjab beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang diterima retinanya. Dan ia menghembuskan napasnya semrawut saat sadar di mana ia terbangun pagi ini.
tenggorokannya kering. Biar ia jelaskan bagaimana keadaan sekitarnya sampai ia dapat menebak dengan waktu kurang dari satu jam, nu-uh, satu menit, cukup.
Bajunya telah terganti, digantikan piyama khas orang pesakitan. posisi tidurnya tak datar, ia seperti bersandar, kasurnya dinaikkan sampai ia bisa melihat dengan jelas sekeliling ruangan. selimut putih tak begitu tebal mengcover setengah tubuhnya, ya, itu hanya sebatas abdomennya. tangannya direkatkan pada sebuah benda Keras entah apa, dan sebuah infus terpasang di sana. rasanya kaku dan ia tak bisa menggerakkan pergelangan tangannya.
Ada sebuah meja nakas di sebelah kanan ranjangnya, tiang infus di sebelah kirinya. Sofa besar di tengah ruangan yang berhadapan dengan meja setinggi lutut orang dewasa, terdapat buah-buahan segar di atas sana. Di pojok ruangan ada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka, jangan lupakan sebuah minibar Di sudut ruangan.
Dan bau khas obat-obatan yang menusuk indra penciumannya. Satu hal yang pasti, ini bukan rumah sakit di mana Julian berada, atau bahkan tempat kakaknya bekerja. Ia tak mengenalinya.
Byan menghela napas, ia hampir tak bisa merasakan tubuhnya. Memilih diam untuk menatap langit-langit kamarnya sambil mengumpulkan tenaga untuk sesi berdebatnya.
Ia ingat kejadian terakhir. Bagaimana dengan teman-temannya?
Byan terlalu banyak melamun sampai tak sadar pintu ruangannya dibuka dari luar dan seorang suster masuk, menemukannya sedang melamun bak orang linglung. "Byan? Sudah bangun?" Byan tersentak.