"Roberto~""Ya, Nona? Ingin dibawakan sup hangat? Mac n'cheese?? Susu? Biskuit??" Byan menggeleng. Tatapannya tertuju ke arah taman samping rumah, menatap kosong hamparan rumput yang sedang mandi disirami air hujan.
Suara berisik yang teredam berlomba-lomba memasuki gendang telinganya. "I want to play rain.." bisiknya.
Robert menengok, menghentikan tangannya yang sedang memasang selimut tebal di sofa untuk menjadi tempat Byan bermain beberapa jam ke depan.
Kartun ungu yang biasanya selalu diperhatikannya kini diabaikannya karena datangnya hujan.
"Maaf sekali, tapi sepertinya bukan hari ini." Byan cemberut menatap pengasuhnya tak bersemangat.
Robert tetap mengangkat gadis kecil itu agar duduk nyaman di sofa sementara ia menyiapkan beberapa camilan untuk menemaninya menghabiskan siang dengan kegiatan ringan.
"Tunggu di sini, camilannya datang sebentar lagi." Byan tak menjawab apa-apa. Membiarkan Robert berlalu dari hadapannya.
Sofa yang didudukinya begitu empuk, hangat menyambutnya untuk bersandar. Hujan datang lagi, dan ia kembali di rumah sendiri. Byan ingin cepat besar agar bisa ikut menjadi orang yang sibuk dengan kegiatan di luar sana. Bukan hanya keluar jika sangat menginginkan saja.
Ia ingin menjadi dewasa agar tak merasakan kesepian, ia bisa mencari kenyamanannya sendiri.
Sudah beberapa menit berlalu, dan kini camilan Byan siap disantap. Tapi belum ada gairah anak itu akan menyentuh makanannya. "Ada apa, nonby? Nonby mau biskuit? Puding? Rico masih punya puding vanilla.." Byan menggeleng.
Tatapannya masih tertuju ke luar pintu rumah, hujan masih cukup kuat membasahi bumi. Robert mengerti itu, tapi ia juga tak bisa asal memberikan izin.
"Biar Robert hubungi Tuan besar untuk meminta izin, tapi pertama, habiskan dulu camilannya. Kita bisa bermain setelah itu habis."Byan menatap pengasuhnya dengan mata berbinar.
Raut masam telah dilemparnya jauh-jauh. "Janji?" Robert mengangguk, Byan tersenyum cerah menyambar dengan semangat garpu kecilnya, senyumnya menyaingi matahari yang terbit setelah hujan.
...
Sudah berkali-kali Robert mencoba menghubungi ayahnya sendiri, asisten kepercayaan Tuan besarnya, tapi panggilan itu belum ada satupun yang terjawab.
Robert menghela napasnya cemas, melirik arloji yang bertengger pada pergelangan tangannya. 20 menit berlalu, Byan akan menghabiskan 30 menit waktunya untuk menghabiskan cemilannya sembari menonton, entah jika tujuannya sudah bulat untuk menghabiskan itu semua dengan terburu-buru, Byan pasti semakin cepat.
Ia mengetuk-ngetuk meja kayu tempatnya bekerja jika sedang tak mengawasi secara langsung nonanya, ya, ini ruangan kerjanya, terletak persis di bawah kamar sang nona muda, di bawah tanah. Keren, bukan?
Tapi bukan itu yang harus dipikirkannya sekarang.
Panggilan ke-23 baru mendapat respon, "Dad? Tuan Andrew sibuk?"
"Ya, son! Kami baru saja menyelesaikan rapat dengan calon mitra baru, ada apa?"
"Bisa bicara dengan Tuan besar?"
"Ini tentang Byanice? Tunggu sebentar akan dialihkan ke sambungan miliknya." Robert mengangguk.
Tak lama panggilan tersambung ke suara yang ia kenal. "Ya? Robert?"
"Tuan! Maaf mengganggu, tapi apakah hari ini boleh? Hujan mengguyur dari pagi tadi, dan Byan belum mau beranjak dari ruang tengah sebelum keinginannya terpenuhi kali ini."
"Ya hahah, tentu, anak itu—oh, Robert, hujannya mulai berhenti." Robert terdiam, Andrew di seberang telefon pun sama diamnya. di ruangannya ia tak bisa melihat ke luar. Ia mendadak cemas.
"Temui Byan. Sekarang!" Robert mematikan panggilannya dan berlari ke arah lift untuk mengantarkannya ke lantai dasar.
Damn, Byanice tak akan memaafkannya untuk hal ini.
tebece.
met malsab gais wkekeke, apdet bodong~
Kira-kira apa yang terjadi di chapt depan?
See you!
With luv, Areen.