BAB 5

49 13 5
                                    

Bisma tak bisa percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Kekacauan dihadapannya saat ini membuat amarahnya semakin membumbung tinggi.

Dimas yang melihat kilatan kemarahan dikedua mata atasannya tersebut hanya bisa menundukan kepalanya.

“Maafkan saya pak.” Ujarnya penuh penyesalan.

“Ini bukan salahmu.”

“Apa kau terluka? Bagaimana dengan anggota yang terluka, apakah parah?” tanya pak Abra.

Kekhawatiran terlihat sangat jelas dalam sorot matanya.

“Seseorang terkena tembakan dibahu kiri pak, dua orang lain terluka karna ledakaan mobil tahanan kita,” dengan tarikan nafas menguatkan Dimas melanjutkan.

“Dan tahanan kita tewas ditempat.” Dimas lagi lagi menundukan kepalanya dalam dalam.

Masih terasa seperti mimpi.

Ketika robongan mereka dihentikan oleh 5 buah mobil, dan dalam hitungan detik pula adu tembak terjadi.

Bisma memperhatikan tempat kejadian perkara dengan sesama. Tim penyelidik yang tengah mengobservasi tersebut membiarkan Bisma ikut menyisir tiap inci tempat tersebut untuk mencari petunjuk apapun yang bisa dijadikan acuan penyidikan.

“Kau masih ingat bagaimana mereka Dim?” kini Joan yang bertanya kepada partnernya tersebut.

“Mereka semua menggunakan topeng Jo.”

“Topeng?” tanya pak Abra.

“Apa mereka juga menggunakan jas layaknya pengawal dan juga topi fedora berwarna hitam.?” Lanjut pak Abra.
Dimas menggangguk.

“Bagaimana bapak bisa tau?”
Pak Abra memejamkan matanya. Seolah menahan amarah yang akan meluap.

“Jake Adam.”

Bisma yang mendengar nama yang sangat tak asing baginya tersebut latas memfokuskan atensinya kepada pak Abra.

“Apa kau melihat salah seorang yang menggunakan topeng yang berbeda dari yang lainnya?”

“Iya pak, salah satu diantara mereka menggunakan topeng dengan warna putih sepenuhnya.”

“Itu dia Jake Adam. Argh, bahkan dia sendiri ikut turun tangan langsung kali ini.” Ujar pak Abra seraya mengusap muka kriputnya yang kini diperparah dengan kantong mata yang menggantung di kedua matanya.

“Aku sudah pernah mengatakannya kan Bisma.” Kini tatapan pak Abra sepenuhnya menuju kepada Bisma.

“Kita tak bisa sembarangan menghadapai orang ini. Kita butuh perhitungan yang matang.”

Bisma mengeraskan rahangnya, giginya yang bergemelatuk seolah memberitahukan kepada semua orang yang ada disana bahwa ia benar benar marah saat ini.

Sebenarnya bukan hanya kemarahan yang menguasai Bisma kali ini, namun kekecewaan atas kecerobohannya sendiri yang membuat Ia ingin membunuh musuhnya saat itu juga.

Tiba tiba ketegangan yang terjadi pecah, notifikasi panggilan diponsel Pak Abra membuyarkan semuanya.

“Iya? Apa?! Kau menemukannya? Dimana?!” semua orang disana menatap pak Abra sepenuhnya.

“Baik kami segera kesana!” Mengakhiri panggilan telfon tersebut, pak Abra lantas memberikan aba aba kepada keempat manusia dihadapannya itu untuk mengikutinya.

__________

Pria tersebut sudah menengguk gelas ketiga vodka favoritnya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang