1. Kematian Sang Dukun Santet

242 36 19
                                    

Banyuwangi, tahun 1998.

Seorang lelaki paruh baya dengan blangkon melingkar di kepala berdiri gusar sembari mengintip keluar jendela bertirai hitam. Cahaya kilat yang membelah langit menyelinap dari sedikit celah tirai yang terbuka, menjadi satu-satunya penerangan di dalam ruangan yang keseluruhannya gelap. Sementara, deru angin yang berembus dari ventilasi dan celah jendela meniup liar tirai hitam serta anak-anak rambut abu-abu yang menyembul dari celah blangkon lelaki itu. Matanya menatap nyalang pada kegelapan di halaman rumah seolah sedang memantau pergerakan tak kasatmata di balik hujan.

Lelaki paruh baya bernama Santosa itu lantas melirik gagang pintu, pada anak-anak kunci yang beradu liar akibat tertiup angin. Suara dentingnya terdengar bagai lonceng pemanggil arwah yang sering ia gunakan pada beberapa ritual santetnya. Harusnya Santosa terbiasa dengan bebunyian itu, tetapi entah mengapa malam ini segala sesuatu yang mengingatkannya pada profesinya menjadi teramat menakutkan. Dengan tangan gemetar, Santosa meraih gagang pintu, dan untuk yang ke sekian kalinya kembali memeriksa anak kunci. Pintu itu masih terkunci seperti bermenit-menit yang lalu. Namun, agaknya Santosa tak juga merasa puas dan aman. Ia lalu memeriksa pengait pintu atas dan bawah, kembali memastikan jika benda tersebut masih di posisi semula.

Setelah melewati bermenit-menit meragu, Santosa akhirnya mengembuskan napas panjang. Bukan kelegaan, melainkan sebuah keterpaksaan. Ia menjauhi jendela dengan langkah terseok. Akan tetapi, belum seberapa berjarak, lelaki paruh baya itu kembali menoleh. Mata yang dibingkai kelopak keriput itu kembali mengawasi bayang-bayang gelap di luar jendela yang silang sengkarut membentuk sesosok monster besar berwujud mengerikan dengan tangan banyak yang menghantuinya dari luar rumah. Ranting-ranting pepohonan yang ujung-ujungnya runcing itu bergerak liar akibat embusan angin seumpama cakar gergasi yang siap untuk mencengkeram. Santosa refleks mundur beberapa langkah saat imajinasi dalam kepalanya mulai terasa menjadi nyata dan seolah bergerak ke arahnya.

Tepat saat kilat menyambar disertai gemuruh yang menggelegar, Santosa memekik ketakutan. Tungkainya lemas bersamaan dengan keberaniannya yang sontak sirna. Ia jatuh terduduk seraya memeluk lutut di atas lantai kayu rumahnya. Ia takut jika ninja-ninja itu akan mendatanginya, mencabut nyawanya seperti mereka mencabut nyawa Parjo, Parmin, dan rekan seprofesinya yang lain. Sejak beberapa hari lalu, Santosa seolah telah mendapat firasat bahwa hari akhirnya akan segera tiba. Parjo dibacok sesosok ninja di rumahnya beserta anak dan istrinya, sementara Parmin dibunuh beramai-ramai saat sedang berada di pasar pada siang bolong. Dukun-dukun dan orang pintar lainnya juga mendapat kematian yang tak kalah mengenaskan. Andai saja Santosa bisa memperoleh sedikit saja rambut atau kuku dari tubuh para ninja, maka sudah barang tentu ia tak akan sekalut ini. Bayangan kematian rekan-rekannya sesama dukun santet kembali berkelebat dalam ingatan, silih berganti hingga membuat Santosa nyaris saja memuntahkan makan malamnya.

Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan tenaga yang dimiliki, Santosa berusaha menopang tubuhnya berdiri. Asam urat yang kambuh sejak semalam cukup menyulitkan pergerakannya, sehingga ia harus beringsut dengan sebelah tangan yang bertumpu pada dinding. Ia menyeret tubuhnya menuju kamar untuk bersembunyi.

Tiba-tiba bunyi gesekan pada genting seng terdengar samar-samar dari balik riuh tetes hujan. Tanpa alasan yang jelas, Susanto lantas merasakan bulu kuduknya meremang. Ia sontak mempercepat langkah sembari mengatur napasnya yang mulai memburu. Sementara, bunyi gesekan konstan itu akhirnya mereda, tetapi berakhir dengan sebuah dentuman nyaring yang menghantam lantai semen retak di bagian belakang rumahnya.

Jantung Santosa nyaris berhenti. Tubuhnya menegang kaku. Ia sangat mengenal pertanda ini, melalui rekan-rekan sesama profesi, maupun gunjingan tetangga. Susanto memang tidak memiliki televisi, tetapi koran yang digilir setiap pagi di balai desa cukuplah menjadi sumber informasi mengenai adanya perburuan terhadap orang-orang sepertinya oleh para ninja. Pembahasan mengenai pertanda dan bagaimana ajal menjemput para dukun nahas itu telah benar-benar ia hafal. Listrik yang mendadak padam, bunyi genteng hingga lompatan merupakan pertanda datangnya para ninja di malam hari.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang