Chapter 8 : ' Ruang Musik '

185 41 22
                                    

Kok liat judulnya keingat You get my attention ya? Ya sudahlah>~<

Author's Pov

F/N melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan tempat ia mengganti tirai. Minuman kaleng yang diberikan Gunawan tadi masih ada di tangan kanannya. Ia membuka pintu ruangan dan masuk ke dalam.

Beberapa alat musik berada di dalam ruangan itu. Dengan piano di tengah-tengah ruangan, serta selo dan biola berada di sudut ruangan. Alat musik klasik dan alat musik elektronik serta tradisional bisa dibilang memenuhi ruangan yang sangat luas itu. Ditambah dengan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan halaman belakang yang di penuhi oleh bunga dan satu pohon sakura yang berada cukup dekat dengan jendela itu.

F/N membuka penutup tuts(?)piano, meletakkan minuman kalengnya di atas piano, ia menekan salah satu tuts hingga mengeluarkan suara merdu. Kakinya menginjak pedal, jari-jari lentiknya mulai memainkan dan menghasilkan melodi.

Beberapa menit ia menghabiskan satu lagu. Setelah merasa puas, F/N kembali menutup tuts piano. Ia menguap sebentar, sepertinya karena lelah hingga ia merasa sedikit mengantuk. F/N melihat jam di handphone-nya. Masih ada beberapa saat lagi untuk memasak makan malam.

"Sepertinya tidur sebentar tidak masalah," gumamnya. Ia melipat kedua tangannya di atas penutup tuts, lalu membaringkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Kelopak mata yang di hiasi bulu mata lentik perlahan-lahan mulai tertutup. Beberapa detik kemudian, ia berada di dunia mimpi.

****
Hari ini Akashi pulang lebih cepat dari biasanya. Pukul lima sore dia sudah sampai di rumah--mansion lebih tepatnya. Akashi keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri, ia memperhatikan sekeliling sambil berjalan. Melihat hasil pekerjaan pelayan barunya.

Saat berada di tangga, ia berhenti melangkah. Seharusnya F/N sudah menunjukkan wajahnya saat ia baru sampai tadi. Tapi, sampai sekarang ia belum melihatnya.

"Dimana gadis itu?" Tanya Akashi pada dirinya sendiri.

Mata merahnya melihat ke arah Gunawan yang berjalan dari arah kanan sambil membawa tiga bungkus keripik dan satu botol minuman. Akashi memegang penyanggah tangga dan meloncat melangkahi penyangah untuk turun ke bawah. Ia mendarat tepat di hadapan Gunawan--lebih tepatnya hampir mendarat di atas Gunawan.

"KALAU MAU LOMPAT ITU PERGI KE HUTAN NOH, KEK MONYEET!!" Teriaknya tidak santai. Dan tidak menyadari bahaya akibat perkataannya.

"Bisa kau ulangi?" Gunting sudah berada di tangan kanan Akashi. Gunawan menelan ludah susah payah. Sial! Dia salah ucap guys!

"O-oh tidak kok, hehe~," ucapnya.

"Kali ini kau kubiarkan. Dimana F/N?" Tanya Akashi. Ia memasang kembali pelindung gunting di area tajam lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Tenang, guntingnya yang ini kecil, jadi muat di dalam saku.

"Oh! Tadi katanya dia pengen ke ruang musik! Mungkin masih ada di sana!" Jawab Gunawan.

"Hm," Akashi berjalan meninggalkan Gunawan.

Gunawan menatap kepergian Akashi beberapa saat kemudian berteriak ketika mengingat sesuatu.
"Oi! Katanya Bryan ama Bobby bakal kemari?!!"

Akashi berhenti melangkah.
"Tidak jadi. Mereka berdua sudah kuminta pergi menghadiri pertemuan di London dan Korea selama seminggu, dan sudah berangkat siang tadi," jawabnya lalu melangkah kembali.

"Bobby sialan! Bisa-bisanya dia menipuku!!" Umpat Gunawan lalu segera membuka handphone miliknya dan mencari nama Bobby di kontaknya.

Akashi berjalan santai ke ruang musik. Saat sampai di depan pintu, ia membuka dengan lumayan kasar. Mata merahnya mendapati F/N yang masih tidur dalam posisi duduk-membungkuk di atas piano.

Akashi menghampiri F/N. Dia melihat sebentar wajah F/N yang tertidur, tapi di tutupi beberapa helai rambutnya. Akashi mengangkat tangannya lalu menyingkirkan helaian rambut itu dari wajah F/N. Kemudian mencubit pipinya.

"Oi! Bangun!" Pintah Akashi masih menarik pipi F/N dengan satu tangan.

F/N tersentak kaget. Ia menegakkan badannya dan mengucek matanya dengan pelan.
"Kau!!" Kagetnya melihat Akashi berada di belakangnya.

"Apa?"

F/N segera membuka handphonenya dan melihat jam. Masih pukul lima sore lewat.
"Kau sudah pulang jam segini?"

"Ah, aku bisa pulang sesuka hatiku," jawab Akashi. Ia berjalan ke samping F/N dan bersandar di piano.

"Begitu, ya! Baiklah kalau begitu aku pergi dulu!!" F/N berdiri dan segera berjalan.

"Siapa yang menyuruhmu pergi, ha?" Ucap Akashi menggenggam lengan F/N.

"Y-ya, aku harus memasak makan malam," ucap F/N sambil berusaha melepaskan tangan Akashi yang menggenggam tangannya. Wajahnya memerah entah kenapa.

Akashi mengerutkan kening. Ia menarik F/N lebih dekat ke arahnya lalu merengkuh pingganggnya. Keningnya ia tempelkan ke kening F/N.
"Ada apa denganmu? Kau sakit?" Tanya Akashi dengan nada sedikit melembut.

"T-tidak! Aku baik-baik saja," F/N menggeleng dengan keras. Ia menjauhkan keningnya dari Akashi lalu berusaha melepas tangan yang merengkuh pinggangnya. Ingatan semalam tiba-tiba teringat olehnya, membuat wajahnya semakin memerah.

"Lalu kenapa wajahmu memerah, huh!"

"I-Itu..," F/N bingung ingin bilang apa. Ia mengubah posisinya menjadi membelakangi Akashi dan masih berusaha melepas tangan Akashi yang semakin mengerat di pinggangnya.

"Hei! Lepaskan aku!"

Akashi menghela nafas. Semalam tadi, Akashi sudah memperingatinya untuk tidak banyak bergerak jika dalam posisi seperti ini. Itu membangkitkan sisi liarnya.

"Sudah kubilang 'kan? Seharusnya kau tidak banyak bergerak saat aku memelukmu 'kan? Kau membuatnya terbangun," Bisik Akashi tepat di telinga kanan F/N.

"K-kalau begitu kenapa kau mau memelukku?!"

"Kenapa? Oh, tentu saja. Karena kau enak dipeluk...,"

F/N sedikit melebarkan matanya. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Apa maksud perkataannya? Dia bahkan berhenti memberontak karena kaget.

"...seperti guling," lanjut Akashi. Tangan kanannya naik menyentuh leher F/N.

"B-baka!!" F/N segera menggigit tangan kanan Akashi hingga dirinya melepaskan pelukannya. F/N memanfaatkan kesempatan itu untuk lari.

Akashi sekali lagi melihat pemandangan yang sama. Di mana F/N melarikan diri karena malu akibat dirinya. Ia memasang sebuah senyum tipis yang tulus dan jarang terlihat di wajahnya.

Matanya menatap bekas gigitan yang berada di tangan kanan.
"Ah, dia punya cara untuk melarikan diri dariku, ya?" Tangan kirinya mengelus bekas gigitan itu.

"Hee, sepertinya akan bagus jika dia kuberi sedikit hukuman," senyuman tulus itu berubah menjadi seringaian.

****
Ide ngalir. Semoga sukaa◇~◇

Jaa minna, mata nee
By andift MieGoreng.

The Billionaire ( Milliarder! Akashi x Agent! Reader) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang