Bab 13 So?

1.1K 79 47
                                    

Ali dimarahi Batozar habis-habisan karena terdakwa melakukan hal yang tidak-tidak. Walaupun itu tanpa sengaja terjadi, tapi hukuman tetaplah hukuman. Raib tidak dihukum karena dia saat itu kelihatannya berada pada posisi korban.

“Aku tak tahu lagi, apa yang harus kuberikan untukmu. Tapi, sepertinya ini cocok.” Batozar berkata, Ali menghela nafas kepasrahan.

“Baik, Master B.” Ali dengan tidak semangatnya membalas.

Raib dan Seli menunggu. Ingin menonton apa hukuman yang diberikan Batozar untuk Ali. Lagipula, seru bukan? Melihat Ali terjebak dalam jurang kesengsaraan. Namun, tenang saja, mereka akan menyemangati—tepatnya menertawakan.

Hukuman akan dilakukan pagi nanti. Hari ini, mereka sama sekali belum beristirahat. Hari sudah menunjukkan pukul lima pagi. Masih tetap terjaga, sementara keluarga Ilo setelah beres-beres langung tidur.

Ali sepertinya kecapaian, kemudian Batozar membiarkan Ali tidur terlebih dahulu, padahal tidak tertidur. Sementara itu, di kamar sebelah, Raib dan Seli lagi-lagi duduk bersama di pinggiran kasurnya. Bernyanyi lagu favorit mereka. Lagipula siapa yang mau tidur kalau sudah pagi-pagi begini?

“Hei, Ra? Bagaimana rasanya ketika ... ehe—.” Perkataan Seli terpotong, lantaran Raib yang memutar bola matanya malas. “Bagaimana, Ra rasanya?”

Plak!

Raib menampar Seli, telak. Seli yang tak sigap tertampar begitu saja. Pelan, tapi Seli yang selalu lebay akan sesuatu berteriak histeris. Mengelus-elus pipinya, meringis kesakitan. Raib menertawakannya.

“Mau tahu bagaimana rasanya? Rasanya—.” Perkataannya terpotong karena Seli yang langsung saja menyambarnya.

“Ahhh, mantap!”

PLAKK!

Sekali lagi, Raib menampar Seli. Kali ini lebih niat, suaranya pun lebih kencang dari yang tadi. Seli pun membalas, tetapi menggunakan jurus mautnya. Menyikut paha Raib sangat lama. Membuat Raib berteriak karena kesakitan, juga kegelian. Ada yang pernah merasakan?

“KALAU KAMU MAU TAU RASANYA, SEPERTI SEDANG MELAYANG!” Karena tak tahan dengan sikutan maut Seli, Raib mengakui membuat Seli terkekeh.

Sementara itu, seseorang melihat kegiatan mereka menggunakan kamera pengawas. Ia tersenyum, kemudian mengelus bibirnya. Terkekeh sendiri dengan pengakuan Raib. Tepat sekali, dia adalah Ali yang diam-diam bangun ketika Batozar sudah terlelap.

“ALI! KALAU KAU TIDAK TIDUR, AKU TAK SEGAN MENOTOK SELURUH TUBUHMU!” bentak Batozar, muka Ali seketika pias. Suara bariton Batozar berhasil membuat nyalinya menciut.

***

Raib dan Seli dipanggil kepala sekolah menghadap padanya, di hari Minggu. Sekali lagi, masalah mereka terhadap kepala sekolah masih juga belum selesai. Liciknya, kepala sekolah tidak mengundang Ali. Dia pasti akan kalah telak dengan Ali, tapi kalau dengan kedua gadis yang masih ragu-ragu dengan ucapannya ini, dia pasti bisa.

Sekolah cukup lenggang hari ini. Siapa juga yang bersekolah di hari Minggu? Memang ada, beberapa anggota ekskul yang sedang akan berlatih berlalu-lalang, menuju tempat mereka latihan. Termasuk tim basket sekolah—tapi tidak ada Ali, saat melewati mereka, Raib ditatap sinis oleh ketuanya tim basket yang memang menaruh dendam tersendiri kepada Raib.

“Ra? Kamu merasa tidak, sih? Kalau mereka seperti menatap kita 'tak suka'?” tanya Seli, dan Raib mengangguk.

“Mungkin mereka memiliki dendam kepada kita. Tepatnya aku.” Bukannya takut, Raib malah tertawa sendiri.

Tahu-tahu, mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah. Halaman sekolah ini yang begitu kecil, atau langkah mereka yang terlalu cepat? Entahlah, tidak usah dipikirkan terlalu berlebihan.

Lumpu My Version (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang