(16) Mimpi Buruk

21 10 0
                                    

By Dina

**


"Aduh, tolong banget ya, dek? Saya sama suami mau kunjungin keluarga di Jakarta soalnya," ucap Bu Eka menatapku penuh harap.

Aku menghela napas sekilas, lalu kembali menatap gerobak yang bertuliskan 'Chicken Crispy Bu Eka'. Memang, aku tidak keberatan untuk mengantikan posisi beliau. Tapi, ayam dengan penggorengan itu sangat hal baru bagiku.

"Iya, bu. Emily akan bantu sebisanya ya," ucapku pada akhirnya.

Bu Eka nampak menghela napas lega, lalu segera naik mobil bersama suaminya dan kedua anaknya. Sedetik kemudian, mobil hitam itu melaju, membelah jalanan sore yang nampak lenggang.

Sore ini, langit begitu cerah dengan lukisan awan yang nampak kebiruan. Tak ketinggalan, semilir angin mulai menyelip diantara tawa, yang membuat suasana makin tenang.

Di bawah langit yang sama, aku kembali menekuni kegiatanku untuk membersihkan gerobak. Biasanya, di jam segini memang belum ada seseorang yang beli. Kemungkinan, 10 menit lagi pembeli akan berdatangan.

"Oke, _fighting_ Emily!" ucapku sambil mengepalkan tangan kananku ke udara.

Aku mulai melumuri ayam dengan tepung, lalu mulai memasukkannya ke dalam guyuran minyak di wajan. Satu persatu ayam mulai tergoreng, hingga tak terasa aku mulai menggoreng separuh diantara jumlah yang ditinggalkan.

"Akhirnya," decakku kagum saat melihat semua _chicken crispy_ itu berjajar rapi dan siap untuk dijual. Aku duduk sebentar di kursi plastik yang disediakan untuk penjual. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, aku kembali menatap langit sore ini.

Emily Ellanda, itulah namaku. Semua orang kerap kali memanggilku Emily atau Emil. Aku baru berusia 17 tahun, dan harus kuakui hidupku sangat kesepian selama ini. Ayah dan ibu telah pergi jauh, dan meninggalkan aku sendiri dengan nenek. Kata nenek, kalau aku merindukan mereka, aku boleh menatap langit sepuas yang kuinginkan. Katanya, Tuhan menyimpan mereka di balik langit surga-Nya.

Lagi, lagi aku menghela napasku. Nenekku saja sudah meninggalkanku sejak dua tahun yang lalu. Untuk saat ini, aku tinggal di panti asuhan yang terletak si seberang kota nan jauh sana. Namun, saat hari minggu begini, aku akan pulang ke desa dan mengunjungi rumah nenek yang hanya bertumpu kayu. Sangat sederhana, tapi harus kuakui banyak kenangan disana.

Dan soal Bu Eka, beliau adalah tetangga nenek yang sangat baik. Bu Eka sudah seperti bibiku sendiri, kadang beliau juga menganggapku sebagai anaknya.

Inilah, Emily dan seribu lukanya. Jika, aku jelaskan satu-satu tentang lukaku, mungkin tak akan habisnya. Hidupku saat ini, aku gunakan untuk banyak bersyukur atas pemberian-Nya.

"Kak, mau beli ayam satu!"

Pecah sebuah suara yang berusaha menyeretku dari lamunan panjangku. Aku menunduk, untuk menatap anak kecil yang berusaha menyodorkan uang lima ribuan. Aku segera membungkus satu ayam, lalu segera kuberikan pada gadis mungil yang tengah berdiri dengan balutan dress putih.

"Terima kasih, kak! Kinan mau pergi dulu ya!"

Aku mengangguk untuk menanggapi ucapannya. Tak berselang lama banyak pembeli mulai berdatangan silih berganti.

Banyak orang mulai berteriak dan berusaha  berebut ayam yanh berjajari rapi di gerobak. Aku berusaha sabar dan menanggapi teriakan mereka dengan tenang.

Namun, ada yang aneh. Para tangan mereka mulai bergantian berebut untuk memakan satu sama lain. Aku syok dengan kejadian yang aku alami. Memang, wujud mereka masih manusia murni, namun kelakuan mereka mirip zombie.

Aku mundur dan berusaha menjauh dari serangan mereka. Aku takut, sungguh takut! Bahkan, langkah kakiku masih berlarian tak tau arah. Belum sempat aku bernapas lega, tiba-tiba hantaman keras membuatku terlonjak kaget.

Tanganku gemetaran hebat, dan napasku diburu habis-habisan. Aku mulai bersembunyi di balik kaca rumah kosong. Nampak diluaran sana, para manusia bertopeng hitam sedang membawa bom yang siap diledakkan ke kepala mereka.

Pyar!

Pyar!

Sungguh, ini mirip mimpi burukku. Aku semakin beringsut untuk tenggelam di balik lututku. Tak kupedulikan lututku yang mulai mengalirkan darah segar. Aku takut sungguh!

Aku keluar dari rumah kosong ini, karena bangunannya mulai nampak roboh detik itu juga. Semakin berlari tak tentu arah, aku semakin bingung dibuatnya. Semua terjadi bak kilat, dan aku tak menyukai situasi dimana aku ketakutan setengah mati.

"Tuhan," gumamku syok saat dihadapkan dengan wujud manusia yang tak tentu rupa. Jalanan yang biasanya nampak hitam, kini tergeletak beberapa wujud aneh. Ada yang terbalut aliran darah dimana-mana, ada yang hanya tinggal beberapa bagian potong tubuh saja!

Tubuhku makin melemas, dan napasku mulai tak beraturan. Saat itu, aku hanya pasrah. Tinggal menunggu waktu, untuk kedatangan bom yang meledak tepat di kepalaku saat ini.

"Mimpi buruk," gumamku berulang kali.

Selamat tinggal dunia mimpiku,

aku mulai rindu ayah dan ibu,

dan tawa mereka.






End

CACTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang