By Reni
**
Gubrak....
Terdengar suara benturan yang sangat keras, entah apa pun itu aku tidak perduli. Aku hanya ingin hari ini lebih cerah dari biasanya dan aku bisa menikmatinya dengan tawa yang riang meski hanya di alam mimpi.
Huhuhu... hiks... hiks....
Sial! Suara tangisan itu membuat mimpinku yang indah menjadi berantakan, dengan setengah hati aku berjalan mencari sumber suara tangisan itu. Mendekatinya meski pandanganku masih semu karena kantuk yang masih bersemayam di mataku.
Shut....
Bugh....
Bugh....
Bugh....
Duar....Dengan sekali dorong yang kemudian disusul oleh tiga pukulan yang aku lontarkan begitu saja dan aku akhiri dengan smack down yang menjadi andalanku, tubuh besar dan tinggi itu tersungkur dengan lebam di sudut bibirnya.
"Pergi atau habis ditanganku," ucapku sambil tersenyum sinis menatapnya.
"Dasar cewek stess!" bentaknya. Dengan sigap langsung saja aku pukul mukanya dengan pukulan yang bertubi-tubi sampai sang empunya merintih kesakitan dan meminta maaf. "Maaf an, aku tidak akan mengulanginya lagi," mohon Bondan kepadaku.
Meski aku tahu Bondan tidak akan kapok, bahkan berapa kali pun aku memukulnya. Karena untuk mempercepat waktuku untuk kembali ke alam mimpi, jadi aku langsung meninggalkan Bondan.
Dengan langkah santai aku kembali menuju ruang mimpiku, namun ada suara yang menahahanku. "Terima kasih, siapa namamu?" tanya gadis mungil yang tangisannya sempat membuatku harus beranjak dari mimpiku. "Anindita," jawabku singkat disertai langkahku menuju kamar untuk kembali menyelam di alam mimpi.
Aku Anindita, aku seorang gadis biasa yang sangat benci dengan ketidakadilan. Aku terlahir di bak sampah karena kata ibu panti aku ditemukan di bak sampah masjid, tepatnya di masjid dekat panti asuhan Kasih Bunda. Aku tidak mempunyai teman sama sekali karena aku membenci orang-orang disekitarku, orang tuaku saja tidak menginginkanku apalagi dunia ini.
Dengan terpaksa aku harus tinggal di panti ini, seatap dengan laki-laki nakal yang sering membully anak-anak yang lain. Anak yang tadi aku tolong adalah salah satu korban dari bullyan Bondan bocah laki-laki yang hanya mengandalkan kekuatannya saja.
Sebenarnya ada beberapa keluarga yang berniat untuk mengadopsiku tapi aku tidak ingin meninggalkan panti ini, lebih tepatnya aku tidak akan membiarkan Bondan seenaknya membully anak-anak yang lain. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang merasakan penderitaanku, bagaimana rasanya dibuang.
***
Baru seperempat alam mimpi aku selami, kembali terdengar kegaduhan di luar sana. Sekarang apa lagi? Kenapa aku tidak bisa tidur dengan tenang... hah?!. Dengan mata yang sayu, aku menyeret kakiku yang tidak ingin meninggalkan kasur nyaman itu. Dengan perlahan aku membuka pintu kamarku, kali ini Desita yang berulah. Dasar gadis gila, umpatku dalam hati.
Desita, ia sama denganku seorang perempuan dan salah satu anak panti tapi kami berbeda. Dia benar-benar gila, setiap kali ia marah atau sedih ada saja temannya yang dia lukai. Mulai dari menjambak, memukul, menendang, mencakar hingga mengigit. Ia trauma dengan orang tua angkatnya yang menyiksanya ketika ia diadopsi oleh mereka, untung saja pihak panti mengetahuinya saat kunjungan ke rumah orang angkat Desita.
Plak... tamparan itu mulus mengenai pipi korbannya, sang korban hanya bisa diam dan menahan tangis. Kini Desita mengambil ancang-ancang untuk memukul korbannya.
Shut....
Sret....
Bugh....
Bugh....
Bugh....
Plak....
Duar....Dengan sigap aku menjregal kakinya yang kokoh, dia hanya kehilangan keseimbangan belum sampai jatuh. Disusul dengan tiga pukulan bertubi-tubi yang aku berikan, aku rasa ia mulai meringis kesakitan karena pukulanku. Satu tamparan mulus aku lontarkan kepada Desita sambil berkata, "Ini balasan tamparanmu tadi... cewek gila!."
Kemudian aku banting tubuhnya kelantai, langsung saja aku injak tubuhnya agar ia tidak bisa melakukan perlawanan."Sudah... berhentilah, mereka tidak tahu apa-apa," kataku mengingatkan.
Cuih....
Bukannya mengiiyakan nasehatku, ia malah meludah ke arahku. Itu membuatku semakin naik pitam. Dengan membabi buta aku arahkan pukulan bertubi-tubi kepadanya, sampai aku rasa sang empu mulai menyerah.End