Mereka berdua masih saling menghangatkan, mengeratkan dekapan, pelukan yang lama berjalan. Jiwa seperti dari awal, tidak banyak--bahkan tidak ada--bertanya perihal apa Riri menangis. Masih dengan tangis yang bisa dia dengar dari telinga kanannya dengan jelas, karena posisi kepala Riri yang nyender di bahu kanannya. Tangan Jiwa menggerayahi dengan lembut punggung Riri, sedang Riri mendekap Jiwa penuh erat dan seakan mencari nyaman biar tenang.
"Maaf, ya, Wa," dengan sedu sedan dan masih ada tangis di setiap suku katanya dia lantunkan.
"Kamu kenapa cantik?"
Riri melepaskan pelukannya, tapi kedua tangan Riri masih memegang tangannya Jiwa. Jiwa mengajak Riri duduk di atas kasurnya, dan mereka duduk sila berdampingan di atas kasur, Jiwa masih mendekap Riri dari samping, dengan menepuk-nepuk pundaknya itu.
"Orang tua aku berantem di rumah. Maaf, ya, bukannya aku diem di rumah tapi malah ke rumah kamu."
"Iya, gak apa-apa, Ri."
"Mereka berantem hebat di kamar, aku gak berani masuk kamar mereka. Sebenernya udah dari kemarin, makanya malam ini aku nginep, aku paling gak suka sama keributan, aku udah nyoba nasihatin keduanya tapi mereka sama-sama keras kepala. Tadi pagi adek sama aku gak ada yang buatin sarapan, ibu sibuk ngurung diri di kamar, bapak keluar tengah malam belum pulang-pulang sampai tadi aku ke sini, dan kayaknya tadi adek nelpon mereka berantem lagi."
"Kenapa bisa sampai berantem?"
"Bapak selingkuh."Jiwa tahu rasanya, Jiwa pernah menjadi Riri yang seperti ini, di posisi ini. Bapaknya pernah melakukan hal yang sama pada ibunya. Mendengar Riri yang kembali menguatkan tangisnya membuat Jiwa harus memeluk temannya lagi, mendekapnya, setidaknya berusaha membuat bendungan air mata buat Riri.
"Padahal ibu juga sama. Aku pernah gak sengaja lihat chat cowok yang bukan bapak di hp dia, terus ada chat mesra dari ibu sama orang sialan itu. Dan sekarang ditambah bapak. Udah hancur keluargaku, Wa. Udah gila mereka."
"Sabar, Ri. Aku tahu rasanya gimana kamu saat ini, menyaksikan dua orang dewasa yang kamu jadikan panutan tapi malah melenceng."
"Sekarang aku harus gimana, Wa? Aku gak mau pulang, aku gak mau ada keributan di kepala aku. Hanya membayangkannya membuat aku pusing, apa lagi kalau aku ada di sana, aku gak mau."
"Tunggu besok pagi aja, siapa tahu mereka udah tenang. Sekarang udah larut malam, kamu bilang kamu gak mau ada keributan, di sini kita tenang, jangan pikirin kedua orang tuamu dulu, gak apa-apa lari dulu dari pertikaian ini, biar mereka berdua yang menentukan, kamu hanya seorang anak."
"Makasih, Wa."Riri kembali berpelukan, tapi kali ini Riri mencoba melarutkan tangisnya ke udara, biar pergi lepas mungkin. Lepas dari kesedihan, kekacauan dan segala itu semua, tujuannya di sini untuk menenangkan dirinya bersama sahabatnya. Pelukannya lama, Jiwa melakukan yang tadi dilakukan, mengelus-elus punggung Riri, dan Riri sendiri mendekap temannya dengan erat dan mencari ketenangan.
"Nyaman, ya, Ri?"
"Nyaman."Syukur, dia sudah mendengar--walau tidak melihat--temannya melantunkan kata nyaman dengan seperti ada senyum atau kebahagiaan.
"Kamu tepos tapi nyaman."
"Ih."Riri sudah mulai menembangkan lelucon, tandanya dia sudah atau sedang berusaha menghibur diri. Semoga saja bertahan lama, Jiwa juga tidak ahli sebenarnya untuk menenangkan seseorang, tapi karena dia merasa Riri dan dirinya tidak terlalu berbeda menanggapi suatu masalah, maka dia berani bilang seperti yang tadi.
Jangan kaget dengan perpisahan, karena memang akan selalu ada itu dalam pertemuan.
Riri bisa bersikap tenang bahkan saat orang tuanya terancam berpisah, karena harusnya memang ketenangan adalah obat segala masalah. Meski nampak seperti orang yang tak berperasaan, tapi kalau Riri malah menyulut api ketika ada api yang lebih besar tandanya dia tidak pernah belajar kimia. Dan lagi, dia tidak berpikir akan terjadi kerusuhan lanjutan, mengingat bapaknya tadi pergi, dan rasanya mungkin akan aman ibunya, sayangnya tidak. Karena dunia memang tidak jelas A, B, C-nya. Dan karena tidak jelas, maka dia tidak perlu menduga-duga apa yang akan terjadi, biarlah yang terjadi maka terjadilah, dia sebagai manusia hanya melakukan apa yang harus dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Sepi
Teen FictionJiwa adalah pribadi yang sederhana, berparas cantik, dan menggoda. Mungkin sebab itu mantan kekasihnya mau dengan Jiwa. Namun, karena mantannya pula dia perlu mengubah beberapa sifat kesederhanaannya menjadi sedikit emosional. Ditambah lagi dengan...