#2

39 7 0
                                    

Tidak ada air mata, tidak ada duka, tidak merasa, Aji melakukannya dan dia tidak pernah tahu seorang gadis yang hanya diam dan berpikir. Namun, cantik itu bisa menampar seorang lelaki sepertinya. Ini kali pertama dia ditampar tapi bukan oleh pasangannya, dan ini memalukan sekaligus menyenangkan. Melihat Jiwa berlari entah ke mana jengkal-jengkal kakinya merujuk, membuat dia perlu mengejarnya, meski dia perlu melihat lari anggun sang wanita bertubuh kecil--tapi tidak pendek--itu untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya dia sadar dia perlu mengejarnya. Berlari dan pada akhirnya berhenti, setelah tahu Jiwa berhenti tapi masuk ke dalam kamar mandi wanita dan masuk ke dalam wc.

Jiwa menyaksikan kedua tangannya yang lekas dipakai menampar pria, untuk kali pertama, dia seakan menyaksikan sebuah perdebatan tangan dan jiwa, bukan Jiwa dirinya tetapi jiwa harfiahnya. Jiwa tak paham dengan jiwanya sendiri. Meski tidak ada air mata yang sempat menerobos keluar. Namun, tetap ada rasa sedih menyesal. Dan kini ada pula bingung yang menggerutu di dalam sangkar kepalanya, bagaimana dia akan keluar dengan pakaian ini?

Suara ketukan pintu kamar wc yang sempat diketuk dua kali menyadarkan perdebatan Jiwa dengan jiwanya.

"Wa..."
"Kamu gak apa-apa? Aku bawain jaket aku, pakai aja ini."

Dia paham betul dengan suara dan sepatu yang masih bisa dia intip dari bawah pintu yang sedikit ada ruang untuk mengintip keluar. Jiwa yang tahu kalau itu adalah Riri, langsung membuka pintu dan memeluk Riri, meski dia tidak tahu atas alasan apa pelukannya itu. Riri yang di tangan kanannya menenteng jaket pink muda itu hanya bisa diam, tak mau pula menyambung pelukannya karena kesusahan memegang jaketnya, dan pula pelukannya hanya beberapa saat saja.

"Makasih, Ri..."

Riri menyerahkan jaketnya, lantas Jiwa langsung memakainya dan menggandeng Riri mengajaknya ke kelas. Sosok setan yang sempat hampir melakukan perbuatan bejat dengan memegang perut gadis belia itu, muncul.

"Maaf ya, Jiwa."
"Iya."

Dengan santai dan dimaafkan seperti tidak ada amarah dalam setiap huruf yang dieja, karena memang sudah terbiasah untuk mengontrol emosi. Tidak menghiraukan, hanya menatap matanya beberapa saat sembari berkata iya, lalu kembali berjalan dan tetap menggandeng Riri masuk kelas.

Jaket yang dikenakannya tidak terlalu menjadi soalan untuk guru-guru yang keluar-masuk kelas, atas alasan iba dan nampaknya pula karena Jiwa disayang semua guru, maka itu tak jadi alasan untuk menghukum gadis manis berrambut pendek itu. Bel berdering dan waktunya pulang untuk membaca novel si Windy lagi. Dia tidak pulang seperti kondisi berangkatnya yang ditemani Riri, karena Riri ada jadwal ekstra hari ini, dan dia menyuruh Jiwa membawa serta jaketnya pulang dulu. Jiwa tak perlu berdebat dengan alasan itu, karena memang tidak perlu ada perdebatan. Dia keluar gerbang dan kaget ketika tahu Aji menghampirinya.

"Kamu pulang jalan kaki ya? Mau aku antar?"

Jiwa hanya menggeleng, meski tahu bantuan Aji diperuntukkan atas rasa sesal talah berbuat salah. Dan Jiwa hanya terus berjalan dengan muka datar yang tidak mencerminkan apapun di wajahnya, kesal tidak, bahagia apa pula. Sekarang dia hanya ingin melepas seragamnya yang terasa lengket dan mungkin sedikit mandi lagi untuk membersihkan tubuhnya, serta membaca novel Windy tentang Nia lagi. Hanya sisa 1 setengah chapter lagi untuk dia menunggu chapter selanjutnya dirilis, dan harapannya hari ini saja rilisnya.

Aji tidak bisa protes dengan gelengan kepala dua kali kanan-kiri itu, dia hanya menyaksikan Jiwa menyeberang jalan sembari mengamati rambut pendek Jiwa yang anggun disoroti matahari. Mau mengejar sudah ditolak, diam saja nampak tak puas untuknya. Aji kembali bersama teman-temannya yang sedari tadi bergerombol di parkiran, melihat dari kejauhan, di tempat parkir yang luasnya setengah lapangan bola itu teman-temannya yang tadi, nampak sedang mencegat beberapa laki-laki anak kelas 10. Ini yang Aji tidak suka dari pergaulannya, meski dia berandalan dan disegani oleh mereka teman-temannya. Tetapi, dia tidak suka dan tidak pernah mengajak teman-temannya untuk merampok barang sepeser atau 2 peser uang orang-orang yang lebih lemah dari mereka. Aji yang menyaksikan itu mendekat dan berteriak.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang