#17

3 3 0
                                    

"Senyummu memikat."
"Apaansih."

Dia biasah, tidak blushing, tidak senyum, malah jijik dan merasa annoying dengan pujian Aji, berbeda ketika Riri yang mengucapkannya.

"Ahai, Jiwa."
"Gak usah cemburu, Ri."
"Ih."

Pipinya memerah, tangannya berusaha membenarkan rambutnya dan memandang Aji sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke rerumputan yang dia injak.

"Kenapa kalian?"
"Riri pingin foto sama kamu juga katanya."
"Oh, sini, Ri."
"Ih, Jiwa bohong."

Kaki-kakinya yang panjang melangkah ke arah Riri, tangannya meraih jari-jari manis Riri yang lentik, dan menyeretnya anggun ke posisi yang mirip seperti Yud ajarkan.

"Fotoin Yud."

Riri tak bisa menahan, malunya tak tertahan, tapi bahagianya juga. Bibirnya, pipinya, matanya, semuanya dipenuhi rasa gemetar tapi ingin sekali menatapnya. Aji memegang pundak Riri, mengarahkan posisinya yang tadinya mengarah ke Jiwa lalu menghadap ke tepat depan Aji.

"Misi, ya, Ri."

Dia memegang dagu Riri dan mengangkatnya sedikit. Terlihat jelas wajah manis gantle-nya Aji, membuat Riri tak kuasa memandangi mata tajam Aji.

"Heh, Riri, lihatnya ke aku dong.
"Eh, ah, iya."

Gemetar, salting, matanya memberontak dari rasa bahagia. Aji memasang senyumnya dan kini Riri yang malah dibuat meleleh dengan itu. Riri harus bisa memasang senyumnya walau serasa sekarang setengah jiwanya sudah meleleh terbakar panasnya senyum Aji.

Untungnya tidak berjalan lama, kalau lama bisa-bisa dia terbakar habis. Riri langsung lari ke arah Jiwa.

"Jiwa kurang ajar."
"Tapi seneng, kan."
"Hih."

Dia memukul Jiwa tapi dengan masih ada cap girang di wajahnya, habis ditatap malaikat yang Jiwa anggap iblis. Jiwa senang bisa membantu temannya, walau waktu itu dia sedikit mempertanyakan kemungkinan itu, sudahlah, Jiwa belum waktumu mendapat cinta sejati.

Takut nanti sore larut menghanyutkan mereka di dalam pinggiran danau sunyi ini, maka mereka memutuskan pulang dari pendangan yang indah ini.

"Kita nanti mampir ke restoran dulu, ya. Gratis, nanti aku yang bayar, sebagai tanda terima kasih mau collab juga."

Mereka berempat menuju mobil yang tadi mereka parkirkan di atas, dan memang suasana parkiran juga sudah nampak sepi, tapi padahal belum begitu sore.

"Danaunya kok sepi, ya."
"Belum banyak yang tahu."
"Oh."
"Kamu baru pertama kali ke sini, Ri?"
"Iya, Kak."

Yud menyalakan mesin, dan mulai memasukan perseneling dan menancapkan gas menuju tujuan selanjutnya, makan-makan.

Di jalan mereka hanya bisa saling mengisi pikiran, terlebih Riri dan Jiwa, kalau ada orang lain sepertinya mereka tidak banyak mengobrol, atau mereka sama-sama pemalu, tapi tidak harusnya, karena Riri juga ketua ekstra PMR jadi bukan tipe pemalu, hanya tertutup mungkin. Jiwa berpikir tentang Aji, yang selama ini digambarkan oleh imajinasinya adalah sosok laki-laki yang nakal, yang suka mengganggu, kasar, dan tidak patuh hukum. Tetapi, nayatanya semua itu sebatas keraguan karena dia tidak tahu sifat Aji yang sebenarnya. Orang kasar juga manusia, punya rasa punya hati, hanya saja dia perlu sedikit kasar untuk membela sesuatu yang menurutnya benar. Dia tidak terlalu buruk--sifatnya--menurut Jiwa, dia salah presepsi selama ini.

"Wa?"
"Iya?"
"Gak apa-apa."

Sekejap heran melesat, dia merespon dengan baik ketika Aji memanggilnya tadi, mungkin Aji mengamatinya yang seperti memikirkan sesuatu. Aji memikirkan Jiwa juga, pribadi Jiwa yang dia kenal dari Windy, yang Aji sendiri ditolak mentah-mentah dengan hantaman yang tak ada wujud dan rasanya.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang