#12

4 4 0
                                    

Jiwa pikir semua yang ada di muka bumi nampak tidak bisa dibuktikan kebenarannya, mulai dari dirinya sampai cahaya matahari yang sedang tidak eksis digantikan rembulan ketika dia bicarakan.
Bahkan Windy yang hanya dia kenal lewat layar ponsel dan beberapa kata-kata dalam pemikiran hayalnya, tidak luput dari prasangkanya, masih soal prasangka lagi. Dia berpikir Windy adalah seseorang yang tidak ada dan hanya nampak karakternya, dia juga bisa jadi adalah karakter yang menciptakan karakter Nia, mungkin Windy diciptakan, dan mungkin diciptakan oleh karakter karangan seseorang yang ada di atas. Dan benar adanya tentang pemikiran Jiwa bahwa Windy diciptakan, meski dirinya tidak tahu bahwa Aji adalah yang menciptakan Windy. Riri, bagaimana dengannya. Dia nampak fisik dan karakternya, tapi tidak benar-benar nampak ruhnya.

Ketahuilah, aku hanya sedang memikirkan pemikiran orang lain di atasku, mungkin dia belajar tentang sesuatu semacam filsafat lalu menuangkan hasil belajarnya yang tidak jelas itu padaku.

Naasnya Jiwa menjadi korban pemikiran orang aneh.

...

Pagi ini jam pelajaran kosong, beberapa orang di dalam kelas Jiwa berbaring di belakang pojokan, isinya semuanya laki-laki. Dan sisanya berkerumun, mendempet-dempetkan meja dan kursi lalu saling bercengkrama. Dan ada beberapa yang memilih sendiri bermain ponsel atau membaca buku, dan itu yang dilakukan Jiwa bersama Riri. Walau berdua tapi mereka melakukan kegiatan secara individualis, Jiwa membaca novel yang kemarin dia dapatkan dari paket misterius, dan Riri membaca novel yang sudah dia miliki sejak lama, dan judul novelnya tidak penting untuk diketahui. Beberapa jam menuju waktu jam pelajaran kosong berikutnya, mungkin akan 3 jam lamanya jam pelajarn kosong ini. Siur-siur sekabar katanya gurunya sedang ada rapat, dan gurunya lupa memberi tugas. Pertama saat beluk waktunya speaker kelasnya yang biasah dibunyikan untuk pertanda waktu menyala, terdengar suara seseorang dari sana, suara bulat dan besar seperti seorang laki-laki dewasa.

Panggilan untuk Rowindy Aji, dimohon untuk segera ke ruang tata usaha.

Jiwa mendengarkannya sekelebat, tidak pakem mendengarnya karena kepakemannya sedang dia tumpahkan pada novelnya, tapi dia sedikit mendengar nama Windy yang membuatnya sedikit membayangkan seseorang yang selama ini jadi tempatnya bercurhat.

"Wa..."

Riri yang sedang berada tepat di depan Jiwa--berhadap-hadapan--memanggilnya dengan alasan yang awalnya Jiwa tidak tahu tentunya.

"Hm...?"
"Nama panjang Aji tuh Rowindy Aji, ya?"
"Mana kutahu."
"Hm..."
"Eh, bentar."

Dia sedikit ingin tahu ketika usai ditanya nama Rowindy Aji.

"Alay gak sih, Ri. Masa cuman gara-gara namanya Rowindy aku berpikir kalau dia Windy."
"Ada beberapa hal yang perlu kita sepakati bahwa mereka berdua sama."
"Kemungkinan tinggal di kota yang sama."
"Tahu tentang kamu."
"Sedang mengalami kecelakaan yang sama."
"Benar!"

Riri tidak melanjutkan, dia lanjut menunduk membaca novel yang ada di atas pangkuan pahanya.

Hanya karena namanya ada unsur Windynya apakah aku patut mencurigai seseorang?

Tapi preman mana yang bisa menulis? Manulis novel maksudku.

Tampang seperti dia...

Aji sendiri ketika menengar namanya dipanggil langsung keluar, juga karena dirinya suntuk di ruang kelas yang hanya berisikan ocehan bapak tua pengajar ilmu sosiologi itu. Dia lewatnya memutar, lewat dekat lorong kelas Jiwa dibangun, dia menyempatkan lewat samping kaca jendela kelas Jiwa. Aji melirik seluruh sudut kelas itu dan berpura-pura memanggil seseorang di dalam kelas itu, dia memanggil Ferdy, salah seorang temannya Aji.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang