#19

7 4 0
                                    

Untuk apa agaknya dia menelepon, sebuah ketakjelasan jika hanya untuk mengobrol sesuatu yang basa-basi, mungkin jika dia ingin mengungkap kebenaran Windy maka Jiwa perlu memikirkannya untuk mau ditelepon Aji.

Jiwa

Mau ngapain?

Aji sendiri bingung, dia hanya kelelahan tadi terlalu beremosi, dan dia perlu sedikit sesuatu yang bersifat menenangkan, sayangnya dia mencari ketenangan dengan sesuatu yang salah. Dengan mencoba mengajak seseorang yang baru saja berbaikan dengannya tadi sore untuk teleponan adalah sepertinya bukan sesuatu yang baik, dan harusnya respon Jiwa demikian tidak baiknya. Aji tidak segera, dia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja. Sesuatu yang pasti akan dia lakukan jika sedang tidak enak hati, bahkan badan, kadang juga minum miras, tapi tidak saat ini.

Apa yakinku jika kamu tidak akan marah lagi denganku?

Kenapa aku dulu mau berpura-pura atas nama cinta?

Kenapa hidup harus tidak adil?

Kenapa ada buruk dan baik?

Apa sebenarnya makna kehidupan?

Apakah ini? Apakah itu?

Apakah sepuntung rokok dan abunya yang jatuh akan menyadarkan tentang makna hidup?

Makna cintaku padamu.

Makna apa yang dunia kandung atau cinta apa yang aku maknai untukmu.

Seperti tak pantas saja pria pendusta ini menghisap rokok dan merenungi cintanya.

Sibukkanlah dirimu, Ji. Kau tak akan tahu kapan kau bisa berhenti mencintai, jadi merenungi cinta adalah hal yang baik, terlepas dari kebaikan dan keburukan dirimu. Ngomong-ngomong Jiwa sebenarnya menunggu responnya Aji, tapi dia malah sibuk seperti ini, Jiwa tidak tahu tentunya kalau Aji sedang sibuk.

Kenapa malah jadi nungguin Aji?

Sebenarnya dalam benak kepala Jiwa sendiri dia tidak yakin, maksudnya seperti ada rasa cemburu kalau-kalau Aji akan benar berpaling hati ke Riri. Dia yakin dan setuju dengan perasaannya bahwa dia tidak suka Aji, tapi mungkin ada kecemburuan jika temannya mendapat teman baru yang akan lebih akrab dari Jiwa. Baru pertama merasakan sebuah pertemanan, dan dia tidak mau kehilangan yang seperti itu.

Aji

Gak, sih.

Lupain.

Jiwa

Boleh.

Aji

Ha?

Jiwa

Kalau mau nelepon.

Dia masih memegang ponselnya itu dengan sebelah tangan, melihat pesan masuk itu dia sedikit girang, dia menghisap rokoknya yang dihimpit dua jari manis dan tengahnya itu, lalu segera memikirkan untuk kedua kalinya soalan menelepon Jiwa ini.

Apakah sebenarnya ada ikatan cinta di antara keduanya? Bahkan yang menulis cerita ini ragu dengan jalinan kisah mereka berdua.

Aduh... Kenapa aku bilang boleh, sih.

Hadeh stress, mau ngobrol apaan emang.

Dering ponselnya mengagetkan sesi berpikir itu, sejenak, dia meliriknya pakem dengan kaget yang terbercak di raut wajah mulus dan putih itu.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang