#16

3 4 0
                                    

"Hadeh, ini kenapa aku dikasih kebab yang pedes."
"Lah, punyaku malah gak pede, Wa."
"Ketuker, nih."
"Yah, udah kegigit, hehe."
"Gak apa-apa, paling yang gigit kamu, bukan genderuwo."

Mereka saling menukarkan kebabnya, karena salah ambil atau penjualnya yang lupa menuliskan tanda mana yang pedas dam tidaknya. Suasananya adem, meski gelap dan sedikit dingin, tapi perbincangan mereka di depan teras kontrakan Jiwa itu hangat.

"Eh, kamu bikin video covernya di mana?"
"Lah, iya, ya. Lupa nanya."
"Tanya sana."

Dikeluarkannya ponsel Riri, dia mengiyakan perintah Jiwa.

"Emang di kota kita ada danau?"
"Ada, di dekat perbatasan."
"Kok kamu lebih tahu dari aku, Wa."
"Aku pernah ke sana sama ibu."
"Jauh?"
"Jauh."
"Kenapa harus jauh-jauh bikin videonya."

Telepon Riri berdering saat dia selesai mengeluhkan perihal tempat shootingnya nanti. Ternyata Aji, dia awalnya agak ragu mau mengangkat telepon itu, sampai-sampai dia minta ijin dulu sama Jiwa, tapi karena Jiwa tidak tahu apa-apa dia hanya mengatakan terserah.

"Halo, Kak."
"Anu, Ri. Nanti bikin videonya kita naik mobil, nanti sama temen aku, kamu aku jemput nanti."
"Oh, bagus deh, Kak."
"Oke, deh, sana lanjut istirahatnya."
"Iya, Kak, makasih."
"Bye... Good night."
"Bye..."

Riri sedikit grogi, tapi di akhiran dia merasa terbang, ditendang kehaluan. Dia senyum-senyum meski tidak sempat menjawab balik salam selamat malam Aji, karena terlanjur hilang akal.

"Kenapa kamu?"
"Aw... Lopyu Aji."
"Ih, stres, suka kok sama brandalan gituh."
"Gak apa-apa, penting ganteng, wlek!"

Entah mengapa seperti ada tidak suka dalam diri Jiwa, ketika harus seperti itu yang terjadi. Seharusnya bukan karena cemburu, Jiwa yang bilang dia tidak suka Aji, dan ada hal lain yang mendasari Jiwa tidak tertarik dengan Aji. Mungkin dia khawatir dengan temannya, atau sesuatu hal lain.

"Wa."
"Apa?"
"Gak apa-apa, kan?"
"Apanya?"
"Kita cinta segitiga gini."
"Mangsud amat."
"Aku suka Aji, Aji suka kamu, kamu gak suka Aji."
"Bener, kita cinta segitiga."

Dia menyambung senyum yang entah apa maknanya, yang padahal Riri malah memasang muka murung. Riri tidak masalah kalau Aji tidak suka dengan dia, dengan cara Aji dekat pada Jiwa dia mendapat kemungkinan untuk dekat juga pada Aji, dan itu membahagiakan untuk Riri yang belum pernah sedekat ini pada seorang lelaki. Dia memang pemalu kalau sama lelaki.

Karena terlalu larut sepertinya, dan juga mereka yang mulai kedinginan menikmati sejuk malam, maka Riri memutuskan pulang dari kediaman Jiwa.

"Gak nginep?"
"Belum ijin, nanti kapan-kapan aja, peluk-pelukan lagi."
"Ih. Btw, di rumah aman?"
"Ya, gituh. Dibikin aman sendiri."
"Sabar, ya, Ri. You are strong girl."
"Aw... Oke, deh. Pamit dulu, ya. Bye."
"Bye."

Seperti yang biasah, diulang-ulang melulu lambaian tangannya kalau mau melakukan perpisahan. Sepasang sahabat yang bahagia disebutnya.

...

Riri

Aku otw ke rumahmu, Wa.

Jiwa sedang berganti baju, tapi masih sempat membuka ponselnya. Dia tidak perlu membalas dan sekarang melanjutkan berganti pakaian, dia tidak terlalu menggunakan pakaian yang nyentrik atau penuh gaya, karena tujuan dia ikut hari ini hanya menemani temannya itu, dan bukannya mau imut tampil. Jadi dia putuskan pakai kaos pendek warna hitam dan celana pendek selutut--lebih sedikit--warna putih. Dia terlihat seperti anak laki-laki dengan tampilan seperti ini, tapi persetan saja, lampaui batas, tancap gas, gas terus sampai mars. Setelah selesai dengan urusan pakaian dia keluar menunggu temannya diteras, meski temannya sudah di teras dari tadi.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang