#15

6 3 0
                                    

"Lagunya Sal Priadi."
"Yang mana, Kak?"
"Amin paling serius?"
"Iya, Rit. Ri, kamu bisa fingerstyle kan?"
"Bisa, Kak."
"Nice, pernah mainin lagu ini?"
"Pernah kok, Kak. Tinggal ngulang latihan, soalnya kan udah lama."

Jiwa menguping, sebenarnya bukan menguping, karena memang perbincangan itu ada di depannya, Amin paling serius itu salah satu lagu favoritnya.

Riri menyesuaikan dirinya pada gitar, dan sedikit melenturkan jari-jarinya dengan memainkan senar-senar gitarnya, memetik-metik dengan jari-jari kanannya, dan yang kiri memasang chord-chord yang Jiwa tak akan paham apa itu. Kalau Aji dan Rita masih latihan mencari chemistry, dan sembari melenturkan vokal mereka pastinya. Dan Jiwa, dia tidak melakukan apa-apa selain memainkan ponsel, dia bukan bagian dari tim penyanyi ini. Riri memilih latihan di tempat agak jauh dari para vokalis, takut mengganggu dan keganggu, dia sedikit ke pojok, dan Jiwa yang melihat temannya ada di pojokan langsung ikut nimbrung dengannya, sembari menikmati hiburan gratis temannya itu. Telinga-telinga Jiwa dibuat melenggang dengan hipnotis nada-nada senar gitar yang Riri petik, dia berbakat, seorang wanita yang cantik, yang tidak hanya parasnya yang cantik saja, tapi juga punya jari-jari yang cantik dalam membelai senar-senar gitar. Riri memang harusnya berbakat dalam dunia seni, terlebih musik, suaranya juga bagus, meski Riri mengaku bahwa suara Jiwa lebih bagus darinya, tapi Jiwa tidak percaya. Suara Rita dan Aji sampai ke tempat Riri dan Jiwa duduk, merdu rupanya, walau Jiwa memang biasah mendengar suara Rita dan Aji menyanyi di beberapa acara sekolah, tapi tidak memungkiri kalau mereka berdua suaranya tetap merdu. Meski Jiwa tidak suka dengan Aji, tapi bukan berarti dia membenci karya yang mungkin Aji ciptakan. Mungkin juga kalau Windy mengaku bahwa dia Aji, Jiwa akan tetap menikmati karya-karyanya, tapi tidak tahu juga, Jiwa sedang berada di masa labilnya dengan hal seperti ini.

"Ayok, Ri. Kita coba."

Riri mendekat karena dipanggil, dia duduk di belakang mereka berdua--Rita dan Aji, tapi tidak jauh.

"Wa, videoin, ya. Aku bawa tripod, nih."

Aji mengeluarkan sebuah tas kecil dari tasnya, di dalam tas kecilnya ada tripod kecil. Jiwa menerima tas itu dari Aji dan memasang tripodnya tepat di depan mereka, lalu mengaitkan ponsel milik Aji ke kepala tripod.

"Sandinya apa?"

Aji menempelkan telunjuknya pada area finger print, tanpa perlu menyebutkan kata-kata. Setelah siap, Jiwa mengaba-aba mereka bertiga, dan segera setelah hitungannya selesai dia mulai merekam. Jiwa menikmati pertunjukan musik yang sederhana ini dengan hikmat, meski hanya ada dia sebagai penonton, tapi rasanya dia benar-benar hanyut dalam vibe lagu yang dibawakan langsung seperti konser. Semuanya berjalan lancar, dan pertunjukan musik yang luar biasah bagi Jiwa. Saat tembangnya selesai dinyanyikan Jiwa menepuk tangani mereka bertiga, sebagai apresiasi.

"Kalian keren."

Jiwa mengambil ponsel Aji dari kepala tripod, tidak sengaja dia mengunci ponsel itu dan membukanya lagi, melihat lock screen Aji yang berisikan sebuah quotes, walau hanya sekilas karena memang setelahnya Jiwa menyerahkan ponsel itu ke pemiliknya, tapi itu membuat dia merasa sedikit tertawa dalam hatinya, seorang preman seperti ini bisa bucin dengan quotes-quotes cinta, entah apa motifnya tapi ini lucu, meski perlu dia tahan tawanya itu.

Sudah terlalu sore untuk tetap di dalam sekolah, penjaga sekolah juga sudah menyuruh mereka berempat menyelesaikan perkumpulannya kalau sudah beres. Maka Jiwa, Riri, Aji dan Rita keluar karena memang sudah selesai untuk latihan hari ini.

"Makasih, ya, Ri, Rit."
"Iya, Kak."
"Rit, anterin ke bulek."
"Hih, nyusahin nih satu."
"Oh, kalian satu keluarga, ya?"
"Saudara."
"Gak mau sebenernya aku saudaraan sama dia."
"Aku juga ogah sebenernya, tapi bersyukur aja, untung dia cantik, kalau gak, ya, gak kuakuin saudara."
"Hih!" Rita memukul pundak Aji yang lebih tinggi dari dirinya.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang