"Gimana, Mbak?"
"Ini, Mas. Anu... Bentar, ya, Mas. Uangnya jatuh kayaknya."Pemuda penjaga kedai itu hanya melihati. Namun, nampaknya juga tidak tega.
"Memangnya berapa yang jatuh, Mbak?"
"10 ribu, Mas."
"Yasudah, ini kopinya gratis saja."
"Eh, jangan. Nanti masnya rugi."
"Gak apa-apa, gak ada ruginya membantu orang. Udah, ini Mbak, jangan buang-buang tenaga cuman buat nyari uang yang udah hilang. Kalau rejeki gak akan kemana."
"Waduh, makasih nih. Maaf banget."
"Santai."Tak habis pikir dirinya, masih ada orang baik nampaknya, maksudnya yang tidak dia kenal. Dia paham setiap orang yang kenal dengannya pasti akan berbuat baik--walau tidak semua, tapi kalau orang asing, dia tidak yakin dirinya akan dibantu jika kesusahan di entah berantah. Namun, sepertinya karena pengalaman pagi ini, dia jadi tersadar, bahwa orang baik itu masih ada, bahkan yang tidak saling kenal.
"Uang yang tadi penting gak, Mbak?"
"Gak kok, Mas. Tadi bawa cuman buat jajan-jajan aja."
"Oh, bagus deh."Sepertinya orang ini berinisiatif membantunya, tapi dengan segelas kopi 5 ribu rupiah menurutnya sudah cukup berlebihan untuk orang yang tidak saling kenal. Dia numpang duduk di depan kedai itu, sambil mengira-ngira kemungkinan uangnya tadi jatuh di mana. Tidak sadar sama sekali, ketika uangnya lepas begitu saja dari genggaman erat tangan kecil Jiwa.
Seseorang rela rugi hanya untuk seseorang lainnya tidak rugi pula.
Timbal balik yang tidak masuk akal, dan tidak menguntungkan, harusnya. Sayangnya, dunia tempatku berpikir dan bernafas adalah dunia yang mencintai hal irasional, hal yang tidak masuk akal.
...
Jam 6 lewat 15 menit dan dirinya sudah hampir sampai di rumahnya. Sejenak dia mengamati kerumunan orang di seberang jalannya dia pulang, sepertinya orang-orang di sana sedang mengantri membeli sesuatu, di sebuah mobil pick up.
Itu apa, ya?
Oh... sembako murah.
Ketika sedang mengamati, dia melihat sebuah tingkah yang tidak normal, aneh, abnormal berarti. Dia melihat seorang pria dengan jaket kulit hitam di kerumunan paling belakang, dia seperti mengamati sekitar, dan termasuk seorang pria lain di depannya juga. Jiwa hanya mengamati dan penasaran dengan apa yang akan terjadi, jarang-jarang dirinya mengamati hal aneh seperti ini. Tiba-tiba pria berjaket kulit hitam itu mengambil sebuah dompet dari saku celana seseorang di depannya.
Hah!?
Jiwa kaget, tapi dia tidak melakukan apa-apa, dia hanya mengamati pria itu yang telah usai dengan misinya, dan lalu pergi meninggalkan kerumunan itu. Tidak ada teriakan, pengejaran, kesadaran orang di sekitaran. Tidak ada, hanya Jiwa. Dia sedikit merasa geram, tapi anehnya tadi dirinya tidak melakukan sebuah inisiatif, Jiwa justru diam saja.
Eh, aku jadi saksi!?
Gak mau aku.
Dia langsung cabut dan melanjutkan menuju rumahnya.
Aku tadi salah gak, ya?
Aku tidak bersikap seperti mas-mas penjaga kedai kopi yang tadi. Yang bisa menolong seseorang yang tidak dia kenal.
Tapi gimana, ya. Aku gak mungkin bisa apa-apa
dia salah, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan seseorang untuk membantu seseorang lainnya, termasuk berteriak copet yang bisa dilakukan Jiwa.
Apakah aku tidak punya jiwa kemanusiaan?
Namaku Jiwa tapi aku tidak punya jiwa.
Sepertinya ada yang sengaja mengatur pikiranku untuk diam saja, aku tidak berbuat apa-apa lantaran aku tidak diberi ruang untuk mengendalikan diriku sendiri--sepertinya?
![](https://img.wattpad.com/cover/250312177-288-k213071.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Sepi
Teen FictionJiwa adalah pribadi yang sederhana, berparas cantik, dan menggoda. Mungkin sebab itu mantan kekasihnya mau dengan Jiwa. Namun, karena mantannya pula dia perlu mengubah beberapa sifat kesederhanaannya menjadi sedikit emosional. Ditambah lagi dengan...