"Biadab kau, Ji!"
Suaranya menggema di ruangan itu. Namun, untungnya bukan benar-benar di ruang kelasnya. Suara itu menggema keras di ruangan hatinya, penggambaran seberapa kesalnya Jiwa terhadap Aji. Kata-kata yang mungkin baru pertama kali-atau kedua kali?--dia lemparkan untuk seseorang, meski seseorangnya tak mampu mendengar apa yang ada di dalam hatinya.
Ruangannya sunyi, dan hanya ada suara Aji yang tetap dengan acungan tangannya yang berisikan cokelat batangan itu.
"Terima atau aku akan menganggap dirimu yang salah selama ini."
Dengan hanya menghela nafas kecil, dia memaksakan tangannya itu, untuk menerima cokelat yang masih ada label harganya 20 ribu. Alasannya sederhana, bukan karena dia takut dianggap salah selamanya, atau karena malu, tapi karena dia tidak munafik. Ibunyapun selalu mengajari untuk menerima pemberian dari orang lain, asal tujuannya baik itu bukan sesuatu yang buruk mestinya.
"Oke, unblock nomorku, ya!"
Tidak ada jawaban dari Jiwa, menengokpun tidak, dia malah asik menengok ke jendela sebelah mejanya. Aji juga nampaknya tidak terlalu mempermasalahkan diamnya Jiwa, mungkin karena wanita manis yang satu ini sifatnya pendiam. Aji tidak melanjutkan apa-apa setelahnya, selain keluar dari ruangan itu.
Gila, pertama kali dalam hidup, ngasih cokelat sama cewek di tempat umum.
Bel berbunyi, dan ini adalah bel tanda berpulang.
"Jadi beli kuota?"
"Jadi."
"Sekarang, kan?
"Iya."Tidak dilanjutkan lagi dialognya Riri, dia sebenarnya berharap ada jawaban penuh humor dari Jiwa. Namun, rasanya dia benar-benar kehilangan seleranya untuk berhumor kali ini. Tidak masalah, setidaknya, yang kini harus Riri lakukan hanya menemaninya, itu saja, dan berharap besok akan baik-baik saja. Mereka berdua menyegerakan langkahnya menuju konter hp, yang tempatnya agak jauh dari sekolahnya, dan pasal itulah Jiwa mengajak Riri untuk menemaninya. Tidak banyak obrolan, Riri masih takut, meski ada penasaran dengan apa yang dirasakan Jiwa saat ini atau setelah menerima cokelat dari Aji.
"Cokelatnya buat kamu aja, Ri."
"Gak, ah. Itu kan pemberian orang. Kamu gak boleh gitu dong."
"Iya, ya."Tumben, Jiwa mau membuka sebuah percakapan, meski itu singkat. Riri yang sedang berjalan bersampingan dengan Jiwa, terhenti, karena temannya juga ikut berhenti. Riri memandang Jiwa yang berhenti, dia tidak tahu apa yang membuat temannya berhenti. Tiba-tiba, sesaat setelah hentinya Jiwa, dia mengangkat tangannya dan berusaha membersihkan air mata yang menembus matanya itu.
"Loh, kamu gak apa-apa, Wa?"
Sembari merangkul temannya itu dan berusaha untuk tetap tenang, mengingat, tidak ada paku atau apapun yang mungkin melukai Jiwa. Untungnya Jiwa hanya melinangkan air mata, dan itupun sejenak, tidak dilanjutkan baik dengan linangan yang semakin deras atau sendu merdu.
"Maaf, ya. Ayok lanjut."
Riri yang sudah lega karena melihat temannya mau tersenyum, maka menuntun Jiwa dengan rangkulan yang masih melingkar di punggung Jiwa. Riri tidak ingin banyak bertanya, dia hanya takut. Akhirnya, mereka sampai pada tujuan mereka. Untungnya, mereka tidak perlu mengantri di konter itu, karena tidak terlalu ramai saat mereka datang. Dan hanya ada satu pelanggan yang nampaknya tidak akan asing bagi Jiwa, meski dia mengenakan masker. Namun, Jiwa tetap masih bisa melihat bola mata itu, mengingat bola matanya yang tajam ketika menatap, dan rambut yang masih pirang itu. Ya, tidak salah, itu adalah mantan kekasih Jiwa. Riri tidak tahu apa-apa, karena hubungan mereka berdua hanya diketahui oleh Jiwa dan mantannya tersebut. Tidak ada sapa, saling memandang juga tidak, mantannya langsung pergi masuk mobil yang terparkir tepat di depan konter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Sepi
Teen FictionJiwa adalah pribadi yang sederhana, berparas cantik, dan menggoda. Mungkin sebab itu mantan kekasihnya mau dengan Jiwa. Namun, karena mantannya pula dia perlu mengubah beberapa sifat kesederhanaannya menjadi sedikit emosional. Ditambah lagi dengan...