#4

17 4 0
                                    

Tidak terdengar suara kokok ayam, meski pukul 4 sudah berlalu 37 menit. Namun, jiwa tidak kaget, karena memang rasanya kamar yang sedang iya tiduri itu, nampak kedap dari suara luar. Saat matanya sudah terbuka, dia merasakan ada sepasang tangan yang sedang melingkar di tubuhnya, merasakan nyaman ketika tahu Riri sedang memeluknya dengan tetap pulas dalam pejaman matanya, yang kelopaknya terlihat indah di mata Jiwa. Jiwa agaknya tidak tega untuk berdiri, dan menyingkirkan tangan Riri dari perutnya. Dia hanya memandangi Riri, sembari merasakan pagi yang berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, pagi yang hangat dari selimut dan pelukan temannya itu, yang kini dia merasa lebih akrab dengannya. Namun, meski terjalin keakraban, Jiwa belum atau tidak akan berani untuk berbagi kisah hidup dengannya. Dia hanya akan tetap memendam semua rasa kegalauan dalam hidupnya.

"Jiwa..."

Suara yang samar-samar dan seperti menggambarkan seseorang yang belum terkumpul nyawanya, keluar dari mulut Riri.

"Kenapa, Ri?"

Tanyanya Jiwa, langsung dijawab tawa kecil yang masih separuh-separuh tertawanya, mengingat Riri yang baru separuh juga nyawanya yang terkumpul. Riri yang baru sadar tangannya melingkar di perut Jiwa, malah mengeratkan pelukannya dan itu membuat Jiwa nampak kesakitan.

"Ih... Sakit Riri..."
"Biarin, hehe..."
"Ih... Lesbi ya, kamu."
"Iya aku lesbi, ututututuu Jiwa cayang atu cayang kamuuuuu."
"Hih! Tolong ada orang stres."

Sambil berusaha melepaskan pelukan Riri, yang masih alot untuk dilepas, Jiwa berteriak-teriak dengan penuh bahagia dan canda tawa.

"Udah bercandanya, udah waktunya siap-siap."
"Kamu bisa bikin nasi goreng ga, Wa?"
"Bisa."
"Ayok masak ke dapur."
"Ayok."

Mereka yang tadinya masih saling canda manja di atas ranjang, langsung berdiri dan siap untuk mengawali hari, mulai dari pagi ini. Riri melepaskan pelukannya dan berdiri, lalu keluar dari ranjang, dan mencari piyama yang tadi malam dia gantungkan di dekat lemarinya. Jiwa yang sedari tadi sudah bangun, memunguti gelas sisa teh susu semalam, dan kaleng-kaleng biskuit tak lupa dia punguti pula. Keduanya--Jiwa dan Riri--keluar dari kamar, dan menuju dapur. Pertama, Jiwa meletakkan kaleng biskuit yang sudah kosong, ke atas meja, lalu gelasnya dia cuci di tempat cuci piring. Riri tidak melakukan apa yang dilakukan Jiwa tentunya, karena dia sedang sibuk mencari bumbu-bumbu dan nasi yang harus dia siapkan untuk mereka berdua olah menjadi sarapan pagi ini.

"Aku pinjem kamar mandinya ya, mau cuci muka."
"Iya, btw kalau mau pakai sabun muka aku gak apa-apa sana."
"Gak apa-apa, gak biasah pakai gituan."

Ketika Riri mendengar jawaban Jiwa--yang jawabannya terdengar samar karena Jiwa sudah masuk kamar mandi--kaget. Dia tidak tahu bagaimana gadis secantik Jiwa merawat wajahnya, tidak ada sabun muka, dan mungkin krim-krim wajah, atau semacamnya. Setelah Jiwa keluar dan selesai dengan wajahnya, kini berganti Riri yang masuk kamar mandi dan menyelesaikan urusannya dengan wajahnya itu. Jiwa yang sudah melihat bumbu dan nasi di samping kompor, langsung sigap meracik bumbu-bumbu itu. Mengambil blender bumbu yang sebenarnya dia jarang pakai alat seperti itu, dan memasukkan beberapa bumbu dengan takaran yang terlihat ngawur tapi memang seperti itu takaran pasnya. Tidak lama setelahnya, Riri keluar dengan wajah yang sudah berbeda dari sebelumnya.

"Eh... Kecapnya di mana ya?"
"Kan kamu yang tuan rumah."

Riri tidak menanggapi jawaban Jiwa, dia sedang sibuk dengan mengosek-osek lemari tempat ibunya meletakkan bumbu-bumbu dapur. Untungnya, masih ada sisa 2 kecap sachet, dia yang tadinya hampir ketakutan akan menggagalkan masakan temannya itu, jadi tidak takut lagi. Beberapa menit selesai, begitu pula dengan nasi gorengnya, dan waktu menunjukkan pukul 6 tapi kurang 17 menit. Jiwa yang menjadi chef di dapur Riri, membagi rata masakannya itu.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang