#11

5 4 0
                                    

Mereka masih gusar, masih diam dan duduk di ruangan itu, walau tidak sunyi karena keduanya sesekali menyambung obrolan. Tapi tetap saja tidak ada jawaban atas siapa yang mengirim paketnya.

"Siapa yang tahu kamu pingin novel ini?"
"Kamu sama Windy."
"Hm..."
"Jangan-jangan kamu sendiri yang ngirim."
"Bukan."

Jiwa percaya, karena dari matanya Riri tidak ada ketakpakemannya berkata 'bukan' tadi.

"Windy, sih, fix."
"Dia gak tahu alamat aku."
"Berarti bukan."

Tapi sepertinya Riri agak ragu dengan apa yang dia ucapkan, dari mulai tuduhan, sampai mengurungkan tuduhan, dan menuduh lagi.

"Eh, tapi kayaknya emang si Windy, sih... Soalnya gak mungkin ibu kamu, gak mungkin Aji, gak mungkin bu Tejo tetangga sebelah, atau mas Selamet kang bakso."

Bolak-balik tuduhannya tidak yakin dan yakin. Lagi seperti itu diulang sampai bosan keduanya menduga-duga siapa dalangnya, dan lelah sendiri.

"Udah, lah. Rejeki, terima aja. Yang penting nanti aku pinjem."
"Ya sudah."

Begitulah akhir dari tebak-tebakan mereka berdua, tidak berguna, dan nyatanya memang sulit untuk menjadi seorang penduga tanpa bukti-bukti yang kuat. Riri hanya memandangi novel itu yang sedang dipegang tangan kanan Jiwa, dan sesekali dia mengalihkan pandangan ke arah lain secara acak, dengan masih ada dugaan Windy--walau hanya dalam pikiran--yang mengirim bukunya, setiap kali pindah pandangannya. Tidak sengaja dirinya melihat lockscreen Jiwa yang sedikit menangkap matanya untuk mengamati, ketika layar ponsel Jiwa menyala sesaat karena notifikasi, seperti tidak asing gambar itu bagi dia. Yang terpasang di lockscreen Jiwa itu quotes Windy waktu itu, yang tentang kebahagiaan sederhana 3 hari lalu.

"Kamu main ke cafe moonbag, ya? Kok gak ngajak aku."
"Ha?"
"Lockscreen kamu, itu foto di cafe moonbag kan?"
"Gak tahu, ini punya Windy, aku save karena ada quotesnya."
"Loh, Windy orang deket sini?"

Jiwa sedikit bingung, tapi ada kagetnya juga kala Riri bertanya tentang keberadaan Windy.

"Bentar-bentar."

Dia membuka quotes itu di galerinya, dan sekarang lebih jelas gambarnya, tidak tertutup jam dan notifikasi.

"Iya, bener ini cafe moonbag."
"Kamu pernah ke sini?"
"Sekali...? Iya kayaknya."
"Deket dari sini?"
"Gak terlalu jauh, tapi gak deket juga. Ada 10 kilo, kurang mungkin, lumayan enak kopinya, tempatnya juga memorable, makanya aku langsung hafal."
"Windy masih sekota sama kita."
"Emang kamu gak pernah tanya tempat tinggal dia?"
"Privasi, gak sopan."
"Ya, barang kali mau ketemu."
"Kalau itu perlu dipertimbangkan."
"Nah, kalau bener, ada sedikit kebenaran dari tuduhanku tadi."
"Sedikit."
"Ya."

Mereka tidak melanjutkan lagi masalah Windy, Riri juga sepertinya sudah terlalu lelah menduga-duga. Jiwa tidak mengusir Riri, tapi Riri ijin pulang dengan sendirinya, sudah sore katanya. Mereka berdua keluar, tapi Jiwa hanya sampai teras, sedang Riri sampai keluar teras dan lanjut pulang. Jiwa mengamati temannya itu yang rambutnya digerai, dia paling suka kalau temannya itu rambutnya digerai, ciri khas yang membedakan kalau dia sedang di sekolah dan tidak di sekolah, dan tentu dengan bando merah favoritnya.

...

Pemandangan yang tidak biasah, hari itu tidak ada Aji yang menyambut atau mengamati Riri dan Jiwa di sekitaran gerbang--dekat parkiran. Motornya yang selalu terparkir di barisan paling depan juga tidak eksis di tempat biasanya, atau di manapun di sekitar sana. Aneh tapi juga bersyukur, tentu ini bukan berarti Jiwa selalu berharap dirinya ditemukan Aji pagi-pagi ketika sekolah, hanya saja suatu yang tidak beres sedang terjadi. Beberapa menit dia berlalu dari depan gerbang, dan hampir sampai ke kelasnya, dia malah berhenti melihat seorang laki-laki yang tentunya kenal Jiwa, dia berhenti juga karena laki-laki itu memanggilnya.

Jiwa yang SepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang