"Ri, emang moonbag punya cabang?"
"Gak tahu."Nampak mereka berdua berjalan beriringan menuju sekolah, tapi yang satu--Jiwa--masih keheranan dengan DM Windy tadi pagi yang dia terima. Entah tujuan dia apa, apakah memang sesuatu yang tidak mau dia ungkap kebenarannya, atau sesuatu yang memang seperti demikian kebenarannya.
"Windy gak ngaku kalau dia datang ke moonbag di kota kita?"
"Enggak. Dia bilang di tempat dia ada cabang moonbag."
"Kita buka google."
"Nanti, kalau udah sampai."
"Iya lah."Kaki-kaki mereka sudah menyeberang ke seberang gerbang, sudah masuk area sekolah. Pagi-pagi seperti biasah akan ada Aji tentunya, yang berdiri bak patung selamat datang yang menaymbut mereka berdua.
"Pagi, Ri, Wa."
"Pagi, Kak."Hanya dijawab oleh Riri, Jiwa tentunya enggan menjawab salam pagi dari manusia yang satu itu. Ngomong-ngomong tumben sekali dia menyapa Riri. Biasanya hanya Jiwa, atau Jiwa dan Riri tapi Ririnya terakhir disapa.
"Tumben tuh anak nyapa kamu."
"Hehe."
"Baper."
"Ih enggak."
"Awas hati-hati."
"Yahahaha kamu yang cemburu, hayuk..."
"Gak!"Solotnya Jiwa dibarengi tangannya yang mencubit perut Riri.
Mereka sudah sampai kelas, kini waktunya mereka menjadi detektiv seperti yang direncanakan tadi di jalan. Salah satu di antara mereka, tepatnya Jiwa. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu menyalakam GPS, dan segera membuka Maps.
"Coba tulis."
"Iya apa?"
"Moonbag, gitu aja."Jiwa menurut saja dengan apa yang dituturkan temannya itu, yang duduk di sampingnya seperti biasah.
"Ada 1 di kota kita."
"Yang lain?"
"Gak ada kayaknya."
"Waduh..."
"Eh bentar."
"Kenapa?"
"Ada."
"Mana?"
"Nih, jauh dari kota kita."
"Masa desain interiornya sama persis."
"Masih satu brand."
"Hm..."Setelah itu mereka menyesal tidak menemukan kejanggalan, dan akhirnya melanjutkan kegiatan masing-masing sembari menunggu jam pelajaran masuk. Jiwa membaca novel, tidak novel yang kemarin dia dapat dari paket misterius, tapi novel online. Namun, sayangnya belum selesai 1000 kata dia baca, bel sudah memberhentikan kegiatannya, malangnya Jiwa. Hari itu pelajaran Sosiologi, aneh memang bahwa kalau Jiwa dan Riri anak IPA tapi juga belajar Sosiologi, sayangnya memang seperti itu, lintas minat namanya, walau Jiwa sendiri tidak minat dengan ilmu itu.
Mereka berdua, pakem memandangi layar proyektor yang mampang di papan tulis, gurunya memang lebih suka media belajar dengan layar proyektor, dan mereka--murid-murid--juga terbiasah dengan hal itu.
"Wa, anter pipis."
"Ih... Pipis di celana aja."
"Ih, kugampar kamu."
"Kamu kan lagi, pakai itu kan, nah pipis aja, nanti kan keserap."
"Gila, ih. Cepetan ayok, wa..."Riri sepertinya sudah sangat ingin pergi ke belakang, nampak dirinya memohon-mohon sambil memegangi tangan Jiwa.
"Iya-iya. Sana ijin."
"Ayok."Dia menarik tangan Jiwa dan dirinya maju dengan sopan meminta ijin dengan guru sosiologinya itu, untuk diberi waktu ijin ke belakang--toilet. Untungnya guru mereka mengijinkan keduanya, lantas mereka berdua keluar kelas. Riri masih menyeret-nyeret temannya itu, terlebih jarak kelasnya yang lumayan jauh dari toilet wanita membuatnya perlu memperlebar dan mempercepat langkahnya.
"Eh, kok lewat sini."
"Biar cepet."
"Muter aja."
"Udah kebelet."Mereka berdebat tapi sambil tetap berjalan, dan Jiwa tetap diseret-seret temannya itu. Jiwa sebenarnya tidak akan suka lewat tempat ini, dia tahu ini kawasan kelas 12, memang menyusahkan posisi toiletnya dengan kelasnya, dekat deretan kelas 12 IPS, dan yang paling tidak disukai murid wanita adalah jika ada gerombolan berandal IPS nongkrong di depan itu. Untungnya semua kelas masih ada jam pelajaran, syukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Sepi
Genç KurguJiwa adalah pribadi yang sederhana, berparas cantik, dan menggoda. Mungkin sebab itu mantan kekasihnya mau dengan Jiwa. Namun, karena mantannya pula dia perlu mengubah beberapa sifat kesederhanaannya menjadi sedikit emosional. Ditambah lagi dengan...