"Krisan Tak Bertuan" - Reinsabiila

3.6K 730 122
                                    


KRISAN TAK BERTUAN

A Short Story by Reinsabiila


"Kamu adalah semestaku. Seseorang paling berharga yang kumiliki dalam hidupku."

"Pembohong."

Galila Shakayla menggumam getir dengan rahang terkatup rapat. Bola matanya merebak hanya karena sekali lagi mengingat apa yang pernah kekasihnya dulu katakan atau mantan kekasihnya. Laki-laki yang amat ia kasihi, nyatanya dengan keji meninggalkannya begitu saja. Memupuk begitu banyak luka di dalam hatinya.

Meski sudah setahun berlalu, Galila seolah merasakan luka yang ditanggungnya masih amat basah.

Perempuan pemilik bola mata bulat dengan bulu mata lentik itu memejamkan mata. Seolah berusaha mengingat kembali sedalam apa ia mendapat luka. Bibir yang biasanya merekah semerah ceri, kini pun beralih membentuk segaris. Seolah untuk menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum adalah satu hal yang amat menyiksa.

"Apakah belum cukup kamu menyiksaku seperti ini, Athar?" Galila kembali menggumam. Kali ini jemarinya terulur mengambil buket bunga krisan warna putih yang amat cantik di atas mejanya.

Buket bunga yang ia temukan tadi pagi saat baru saja menginjak ruang kantornya. Tanpa nama pengirim. Hanya selembar pesan yang bertuliskan satu kalimat amat singkat.

"Semoga harimu menyenangkan."

Terhitung lima kali, Galila menerima buket bunga seperti itu, sejak beberapa bulan lalu. Beberapa rekan gurunya mengatakan untuk menyimpannya saja, toh hanya bunga. Ketika ia berniat untuk membuangnya saat itu. Dan beberapa lagi justru meminta untuk disimpan di vas yang kemudian diletakkan di ruang penerima tamu.

Galila menuruti semua permintaan itu. Dari pada dibuang, memang sebaiknya digunakan sebelum layu. Namun hari ini, Galila menahan buket bunga itu untuk tetap berada di mejanya, menemani tumpukan tugas-tugas anak didiknya.

Galila sedang menarik lepas setangkai krisan dari ikatannya di buket, ketika mendengar ketukan di pintu dan ucapan salam.

Perempuan itu segera mendongak dan mendapati seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu tampak menunggu, dengan seulas senyum menghias di bibirnya.

Galila segera bangkit dari duduknya, mengambil ransel dan menggendongnya.

"Kamu sudah selesai dengan semua hukumanmu?" tanya Galila setibanya ia di dekat Triyatna, salah satu anak didiknya yang sudah duduk di kelas 12.

Triyatna mengangguk. "Sudah, Bu. Maaf, Bu Lila jadi menunggu saya."

Galila mendahului mengayun langkah untuk menjauh dari lorong kantornya. "Toiletnya sudah bersih, kan? Kalau masih kotor, besok hukuman kamu Ibu tambah."

"Mang Maman sudah kasih nilai 200 sama saya tadi, Bu. Jadi dijamin bersih sekali." Triyatna membalas. Berjalan sedikit di belakang, agar tidak begitu sejajar dengan Ibu guru muda, yang sampai detik ini masih dipuja-puja siswa. Termasuk dirinya, tentu saja. Namun ia tahu persis, ada laki-laki yang mencintai Bu Galila lebih dari apa pun. Yang bagi Triyatna amat bodoh dengan berdiam di dalam rumah dan mengutuk diri tidak sempurna.

Galila mengangguk, menyimpan kuluman senyumnya. Dia memainkan bunga krisan digenggamannya. Sesekali ingin meremukkannya, namun kemudian, teringat bunga cantik itu tak bersalah apa pun.

"Angga sudah baik-baik saja, kok, Bu. Sebenarnya Bu Lila nggak perlu menjenguknya di rumah." Triyatna memberi tahu keadaan sahabatnya yang sejak sabtu kemarin wajahnya babak belur.

High School: A Wattpad Stars AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang