"Ketika Hujan" - Naya_Hasan

10K 1.5K 501
                                    


KETIKA HUJAN

A short story by naya_hasan


Antara langit dan bumi, tidak pernah dipersatukan.

Kecuali ... ketika hujan.


Sama halnya seperti matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat setiap harinya, aku percaya, antara langit dan bumi tidak pernah dipersatukan. Kecuali ketika hujan. Dan sama halnya seperti langit dan bumi itu, aku juga percaya bahwa ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah saling sentuh. Seperti orbit kami, garis hidup kami yang seharusnya tidak pernah bersinggungan. Namun hujan turun dan ... rencana itu buyar seketika.

Waktu itu awal Desember. Hujan mulai turun dengan rutin, harian, tiap sore. Tapi aku, dengan segala kekeras-kepalaanku, dan sifat pelupa yang sulit dibuang jauh-jauh, tentu saja, tidak membawa payung. Jarak dari sekolah ke rumah tidak begitu jauh, hari mendung, dan itu hanya berarti satu hal; kesempatan emas untuk menghemat uang transportasi. Setengah jalan berjalan kaki, hujan menyergap. Aku berlari ke tempat berteduh terdekat, dan itu adalah sebuah toko buku kecil yang bangunannya sangat patut direnovasi; pilar-pilar kayunya besar, namun tampak lapuk, kacanya buram dan tampak kuno, sama seperti barang-barang lainnya di sana─sebuah bangku yang memuat duduk sekitar tiga orang, rak tanaman hias yang bunganya hidup segan mati tak mau, dan rak-rak buku sendiri yang bisa ditengok dari sini. Namun setidaknya, atapnya yang rendah dan sempit menawarkan cukup perlindungan.

Aku tidak bergegas masuk. Hanya berdiri canggung di pelatarannya karena aku tidak membawa cukup uang untuk membeli buku apapun. Di situlah aku melihatnya, bersandar pada pilar di ujung jauh, dekat bangku, matanya terpejam dengan earphones di telinganya. Pada pandangan sekilas, aku hampir dapat melihat semua tampak luar darinya. Tinggi, memiliki side-profile yang bagus dengan hidung sempurna, serta rambut yang tampak lembut, jatuh di keningnya. Kulitnya putih pucat, membuat kontras pada sulur tattoo yang seolah mengalir dari bawah lengan pendek kemeja seragamnya (Ia memakai seragam SMA yang berbeda; biru dongker dan putih, sekolah mahal, sepertinya) yang digulung. Aku tidak sempat menganalisa itu gambar apa.

Matanya membuka dan aku mengalihkan pandang detik itu juga.

Lima belas menit yang panjang berlalu. Dan aku tidak lagi bisa menghitung seberapa sering aku memeriksa jam tangan karet biru muda yang bertengger di pergelanganku. Waktu tidak berjalan lebih cepat dan hujan tidak segera reda. Aku merasa terperangkap, berdiri di ujung teras dengan telapak tangan terjulur ke depan, menadah rintik hujan. Hanya karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Sampai saat itu, aku melupakan keberadaan anak SMA bertato yang entah tidur atau mendengarkan musik di ujung lain pelataran. Sampai saat itu, kehidupanku masih berjalan dengan semestinya. Garis kami masih pada jalur masing-masing. Namun tiba-tiba, aku merasakan suatu dorongan kuat di punggungku, membuatku tersaruk ke depan dan nyaris jatuh ke tanah becek.

Hujan yang deras segera menyelimutiku, terlambat untuk kembali berteduh mencari perlindungan. Aku berbalik, menatap si pelaku yang telah mendorongku dengan semena-mena. Tidak ada unsur ketidak-sengajaan di sini. Ia jelas-jelas berdiri di dekat tiang yang satunya sedari tadi. Tidak ada, bahkan, permintaan maaf dari bibirnya, atau matanya. Ia sengaja mendorongku, dan sekarang menatapku tanpa ekspresi.

 Ada apa dengan otaknya?!

"Kamu... gila?!" Perlu sekian detik untukku mengumpulkan suara. Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin ia dapat mendengarnya, mengingat kepayahanku dalam mencoba terlihat marah dan hujan yang sederas itu, seberisik itu.

High School: A Wattpad Stars AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang