NURANI
A short story by FreelancerAuthor
Sebenarnya manusia tak pernah dibagi dalam sebenar-benarnya buruk. Diciptakan bukan untuk disalahkan. Ada bukan untuk ditanya terus menerus oleh kaum sesamanya. Merana bukan untuk dilihat saja. Pun bahagia tak untuk dicerca saja. Namun, itulah garis kehidupan. Selalu ada cela bagi satu sama lainnya untuk saling 'membunuh' temannya sendiri dengan membagikan keburukan saja. Hampir tak pernah ada yang tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa mencela satu keburukan saja.
"Apa motivasi kamu dulu ketika akhirnya memutuskan datang ke sekolah terpencil seperti ini dan mengajar?" tanya seorang teman yang baru Nurani kenal dalam hitungan bulan itu.
Menggenggam kaleng minuman satu-satunya yang bisa dia jumpai di sana, Nurani menatap hamparan laut yang bisa dikenali oleh indera penciumannya setelah terlalu sering menghabiskan waktu di pesisir.
"Aku sudah lupa, apa jawabannya." Jawab Nurani.
"Pasti ada cerita yang membuat perempuan secantik dan secerdas kamu pada akhirnya mengabdi di sini. Iya, kan?"
Nurani menempatkan senyumannya pada lelaki itu. Tidak ada niatan menggoda sama sekali, tetapi nampaknya seorang Abdi — teman yang Nurani kira tak akan melihat kecantikan di wajahnya saja mengerling tatap dengan terpesona.
"Abdi, kamu terlalu banyak bertanya. Bisa kita lanjutkan saja rencana mengenai sekolah Lingkar Pelangi? Karena aku sedang nggak ingin membahas apa-apa mengenai semua yang menggunakan alasan.
Abdi mengangkat kedua tangannya ke atas. "Baiklah-baiklah, aku nggak akan bertanya mengenai alasanmu. Aku juga nggak mengerti apa arti dari ucapanmu. Mari lanjutkan pembahasan kita mengenai Lingkar Pelangi."
* * *
Nurani masih ingat dengan jelas ingatan di mana dirinya masih berseragam putih abu-abu. Pada saat itu dia berpikir bahwa tidak ada satupun hal istimewa mengenai masa remajanya di SMA. Semuanya sama saja, hampir bisa dikatakan tingkatan pergaulannya itu-itu saja seperti ketika dirinya SMP.
Namun, ada bagian yang terasa membawa perbedaan besar antara dirinya dan anak-anak yang lain di sekolah. Yaitu mengenai statusnya sebagai anak dari pemilik saham SMA kenamaan yang dijadikannya tempat belajar tersebut. Sudah Nurani katakan, semua hal terasa biasa saja di sekolah. Hanya saja Nurani yang tak biasa di mata anak lainnya.
"Papa harus bilang apa lagi supaya kamu mengubah mindset kamu, Nak?" Darsa terlihat begitu putus asa dengan bicara pada putri semata wayangnya. "Nurani...berhenti membatasi diri kamu. Berhenti menjadikan diri kamu seperti perempuan itu."
"Yang papa sebut 'perempuan itu' dia adalah mama aku." Balasan yang telak. Nurani selalu bisa membalas ucapan papanya ketika menyangkut prinsipnya yang berbeda dari Darsa.
Menatap putrinya dengan wajah memendam kecewa, Darsa mengangguki. "Betul, dia adalah mama kamu. Tapi lihat sekarang apa yang sudah dia lakukan pada keluarga kita dengan cita-citanya menjadi pengajar. Dia mengkhianati kita, Nurani."
"Hanya papa," sahut Nurani.
"Apa?"
Nurani mendongakkan kepala dengan menatap papanya dengan tampang berani. "Hanya papa yang dikhianati, bukan aku. Mama nggak pernah mengkhianati aku. Aku tetap akan menjadi guru seperti mama. Aku suka mengajar, papa nggak bisa paksa aku untuk jadi apa yang papa mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
High School: A Wattpad Stars Anthology
Teen FictionIkuti perjalanan melalui ide ini dalam segala bentuknya saat tiga puluh penulis dari Program Stars Wattpad mengeksplorasi kisah tentang cerita semasa high school. Menampilkan cerita dari: L_Zeth, Naya_Hasan, Sirhayani, Aristav, Jokris1510, AntheaFea...