DELUSIF
A short story by faizahekaa
Seminggu belakangan, ketika aku pulang dari sekolah dan berjalan kaki seorang, rasa-rasanya seperti ada yang ... mengikutiku diam-diam.
Ini serius. Aku sedang tidak mood bercanda. Karena rasanya memang seperti ada bayangan gelap yang selalu mengekorku jauh di belakang. Rasanya seperti diikuti ... hantu—ini menurut orang-orang sih, aku terlalu idealis untuk percaya bahwa di dunia ini ada makhluk semacam itu.
Oke deh, seandainya di dunia ini benar-benar ada hantu .... Tetapi, tetap saja, buatku, hantu itu tidak menyeramkan, karena mereka sudah mati. Tapi kalau yang di belakangku itu seorang pembunuh bayaran, beda cerita lagi.
Pembunuh bayaran itu hidup. Dan ironisnya, mereka butuh orang-orang yang ditargetkan untuk mati. supaya mereka tetap hidup. Seolah-olah hidup dan mati seseorang itu ada di tangan mereka. Seolah-olah ... mereka Tuhannya. Eh, ini kenapa jadi bahas pembunuh bayaran, sih?
Gelembung rasa penasaran dan tidak nyamanku lama-lama membesar. Aku penasaran, orang bodoh macam apa yang terus-menerus mengikutiku diam-diam, padahal ia tahu aku bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa.
Toh, aku bukan anak orang kaya tujuh keturunan. Bukan anak pejabat juga. Jadi seandainya ia pembunuh bayaran, seharusnya ia tahu bahwa nyawaku tidak seberharga itu untuk menjadi ancaman orang lain—tapi nyawaku masih berharga untuk diriku sendiri, tentu saja. Dan karena aku tidak memiliki harta kekayaan yang luar biasa, seharusnya perampok itu tidak perlu mengikutiku sampai berhari-hari. Satu hari saja kiranya sudah cukup membuat mereka pergi.
Tapi, tunggu, apa aku punya penggemar rahasia di sekolah, ya? Jangan-jangan penguntit itu cuma penggemar rahasia.
Karena kalau benar, berarti ia hanya bermaksud untuk melihatku sampai rumah dengan selamat, bukan berniat macam-macam.
Yah, siapa yang tahu? Penggemar rahasia, kan, selalu punya cara yang unik untuk mengekspresikan perasaannya.
Tapi, membayangkan seorang Resha memiliki penggemar rahasia seperti dalam film-film, itu persis seperti membayangkan Neil Armstrong menginjakkan kakinya di matahari, bukan di permukaan bulan. Alias ... itu tidak mungkin.
Maka aku berhenti 'berprasangka baik' dan karenanya, aku jadi mulai merasa tidak nyaman dengan sosok penguntit tersebut.
Suatu hari ketika berjalan pulang dari sekolah—sendirian, sesekali aku diam sejenak dan berbalik badan dengan mendadak, untuk melihat siapa yang mengikutiku di belakang sana.
Lalu, aku akan melihat sosok gelap yang terkejut dan buru-buru bersembunyi di balik apapun itu—lebih sering tembok, tapi pernah juga bersembunyi di belakang gerobak bubur ayam—karena tertangkap basah.
Aku juga pernah ingin menemuinya langsung, dengan berjalan perlahan-lahan ketika ia bersembunyi di balik tembok. Tapi, sesosok itu selalu berhasil menghilang dalam sekejap. Selalu. Di balik tembok itu tidak ada siapa-siapa ketika kudatangi.
Oleh karenanya, aku membuat keputusan, jika ia tetap membuntuti lebih dari seminggu, aku akan minta Ibu untuk panggil polisi. Titik.
Namun, tepat di hari ketujuh, sebelum aku jadi memanggil polisi, sosok gelap itu akhirnya menampakkan diri tepat di depan mataku.
Sosok yang selalu mengikutiku sepulang sekolah itu rupanya hanya seorang laki-laki biasa (aku sangat bersyukur bahwa ia bukan pembunuh bayaran). Ia berkulit putih pucat, bertubuh tinggi dan memiliki warna iris mata yang unik—merah api.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School: A Wattpad Stars Anthology
Novela JuvenilIkuti perjalanan melalui ide ini dalam segala bentuknya saat tiga puluh penulis dari Program Stars Wattpad mengeksplorasi kisah tentang cerita semasa high school. Menampilkan cerita dari: L_Zeth, Naya_Hasan, Sirhayani, Aristav, Jokris1510, AntheaFea...