"Kapan Matinya" - kontradiksi

2.3K 455 26
                                    


KAPAN MATINYA

A Short Story by kontradiksi 


Dingin. Baju selapis dua lapis apalah artinya, sama saja dingin gagal ditepis. Kukepal kedua tangan, kumasukkan ke ketiak. Metode yang cukup ampuh beberapa hari terakhir. Mataku menyapu putih bertemu putih. Layar kedap-kedip, berisik di kanan-kiri.

Bau klorin tak henti menyergap indera penciumanku. Siang datang, masih bau. Sore datang, sama saja. Malam, katanya bukan jam besuk, aku pun lebih senang di rumah dengan alibi besok wajib ke sekolah.

Kuhela napas panjang. Rutinitas ke rumah sakit sudah dilakukan sejak setahun silam. Besar kecil sama saja, isinya tetap jas putih dan orang-orang dengan muka sedih. Entah mukaku masuk ke mana. Sepertinya bukan sedih. Capek, itu baru benar. Antrian selalu panjang, kalau tidak ada orang, aku sampai-sampai harus bolos sekolah.

Duduk begini memang lebih enak sambil baca buku. Melirik ke kasur pun tidak ada gunanya. Setelah vonis dokter terbukti benar, ibu tidak pernah lagi membuka matanya. Bingung aku dibuatnya. Mati tak bisa, hidup pun tak mau.

Kadang iri aku dengan teman-teman. Pulang sekolah main dan nongkrong tak jelas rimbanya. Punya orang tua untuk dimintai uang. Uang dipakai habis untuk tertawa. Belum lagi yang pacar diganti setiap bulan. Betapa asyiknya. Waktu mereka selalu luang. Kalau tidak luang, ya dibuat luang.

Kuhela napas lagi. Dua jam duduk di sini rasanya seperti di gunung es. Tentu bukan sepenuhnya salah matahari yang tidak mampir ke dalam, sebagian juga karena petugas lalu-lalang yang jarang tersenyum. Biasanya mereka mampir sesekali dan tiba-tiba menyadari keberadaanku ketika butuh bertanya tentang ibu. Bukan satu dua, ada banyak. Dan sulit sekali membedakan mereka. Jas putih panjang, jas putih pendek, baju warna-warni dengan topi, jas putih panjang yang lebih panjang, pokoknya ada banyak. Kesamaan mereka satu: selalu sibuk dan terlihat terburu-buru.

Bukuku sudah tamat. Kuhela napas sekali lagi. Jam besuk telah usai. Waktunya pulang ke tempat yang hangat dan wangi.

Bukan, bukan di sini.

* * *

Aku punya sebuah pengakuan.

Sebetulnya ada banyak. Tapi, pengakuan ini penting. Kalau aku ucapkan keras-keras, sudah pasti pejuang manusia-tapi-berlagak-Tuhan bergerilya mencaci-maki diriku.

Jadi, begini.

Sebetulnya aku senang ibu sakit.

Akhirnya aku bisa keluar dari rumah. Akhirnya tidak perlu dengar dia teriak-teriak.

Akhirnya aku bisa berbicara seperti orang normal.

Akhirnya aku paham kalau aku punya tante yang baik hati, yang dilarang ibuku untuk diajak bicara karena katanya rahasia keluarga harus tetap di dalam keluarga.

Tapi bukannya tante juga keluarga?

* * *

Tadi malam aku mimpi seram lagi. Kali ini bukan di hutan. Aku sedang duduk di kelas, mengerjakan ulangan, diawasi petugas yang galak. Tiba-tiba petugas itu berubah jadi ibuku, sambil menangis, mengatakan, "Kapan matinya?"

Seperti kemarin.

Dan kemarinnya lagi.

Sudah berapa lama ya aku mimpi seperti itu?

Aku yakin, mimpi itu cuma mimpi. Tapi, aku benci bangun dengan tidak nyaman. Seringkali dadaku berdebar, tubuhku basah oleh keringat, air mata bercucuran, dan kepalaku berdenyut seakan gempa bumi sedang melanda.

High School: A Wattpad Stars AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang