38 - Langkah Aditya

2.6K 418 45
                                    

Bismillah..
---------------------------------
Jangan lupa Al-Kahfinya ya .. 💚

"Kalau Kak Yusuf gak punya kewajiban atas diri Hasna, kenapa juga harus ngorbanin diri sendiri demi Hasna? Hasna gak mau jadi orang yang menghalangi kesuksesan orang lain. Apalagi kesuksesan orang yang Hasna sayang."

Gadis di depannya menutup wajah dengan kedua tangannya, menyembunyikan deraian air mata yang tak bersuara. Gerakan naik turun punggungnya yang mengungkap kesedihan. Bahwa apa yang ia ucapkan lewat lisan, nyatanya hanya bisa ia ungkapkan lewat tangisan.

Yusuf terdiam. Ia mengepalkan tangannya yang semula hendak menyentuh pundak Hasna. Ingin sekali ia menarik gadis mungil itu ke pelukannya.

Ia menunggu, hingga tangis itu reda. Dengan hati berkecamuk bimbang. Hasil istikharanya semalam, tak bisa ia jadikan panduan untuk mengambil keputusan secepat itu.

Mungkin, niatnya yang salah. Hingga keraguannya semakin besar untuk memutuskan salah satunya. Atau mungkin juga, Allah memang masih belum mau memberikan keyakinan itu pada hatinya.

"Kalian dari mana?" tanya Amar membuyarkan lamunan Yusuf.

"Sawah."

"Ngapain?"

"Jalan-jalan aja."

"Tumben?"

"Kan kita udah suami istri, Mar."

"Iya, tapi tumben. Bukannya kamu paling ogah berduaan?"

"Ya Allah, Amar. Kan aku dah bilang, dia istri aku sekarang. Kenapa jadi tumben kalau suami istri jalan berdua?"

Kening Amar mengernyit. Suara Yusuf penuh penekanan, seolah ia tengah menahan emosi dalam nada bicaranya.

"Tadi, laki-laki itu telepon," kata Amar seolah tahu apa yang tengah menjadi penyebab emosi Yusuf.

"Sama, kamu?"

"Ya gak lah, mana punya dia nomor aku."

"Terus?"

"Sama Hasna."

"Hasna?"

Amar mengangguk.

"Hapenya bunyi terus, berisik. Makanya aku angkat. Ternyata dia yang telepon, tanya alamat sini."

"Terus kamu kasih?"

"Ya iyalah, dia bilangnya mau jenguk eyang, kok. Bukannya mau ketemu Hasna."

Yusuf sedikit mendengus kesal. "Modus," ucapnya lirih.

"Kamu cemburu?" Amar mengulum senyum.

"Gak."

"Ck, raut wajah kamu kelihatan tuh!"

"Dih, sok tau."

"Ya udah, kalau kamu gak cemburu, aku mau bilang satu hal lagi."

"Apa?"

"Aditya itu nyatanya adalah orang yang sempat Hasna suka sejak SMP. Istilahnya cinta monyet atau cinta pertama, ya?" Amar semakin berhasrat untuk memancing kecemburuan Yusuf.

"Jangan ngarang! Bisa jadi fitnah, loh!"

"Eh, siapa yang ngarang. Barusan pakde cerita, sambil godain Aditya."

Yusuf menarik pandangannya ke dalam rumah. Sementara Amar, malah tersenyum melihat Yusuf yang masih saja gengsi untuk mengakui perasaannya pada Hasna. Padahal raut cemburu itu terlihat jelas dari wajah Yusuf.

"Gak mungkin, Ayah kan udah tahu Hasna punya suami. Mana mungkin masih digodain sama istri orang."

"Yang digodain 'kan bukan Hasna, tapi Aditya. Dih, lagian sejak kapan kamu panggil Ayah?"
"Aku mau masuk."

"Eh, mau ke mana? Gak baik gangguin orang!" Amar menahan tangan Yusuf.

"Justru gak baik ngebiarin istri sendiri berdua-duaan dengan laki-laki ajnabi."

"Ish, dia itu bukannya mau pacaran sama Hasna. Tapi mau jenguk eyang. Tuh ...!" Amar menunjuk Hasna yang justru masih tetap berdiri di tempatnya.

Yusuf ikut berbalik badan. Memperhatikan Aditya yang kini bangkit dari duduknya, dan langsung mengikuti langkah Hasna menuju kamar eyangnya.

"Mau ke mana?" tanya Amar lagi saat melihat Yusuf yang ikut bangkit dari duduknya.

"Nyusul mereka," jawab Yusuf yang langsung beranjak pergi sebelum ditahan kembali oleh Amar. Ada senyum senang di bibir Amar, akhirnya setelah beberapa tahun, ia baru tahu bahwa Yusuf juga bisa cemburu.

***

"Jadi, Aditya ini temen SMP, Hasna?" tanya sang eyang pada Hasna saat Aditya selesai memperkenalkan diri.

"Iya, Eyang." Hasna yang menjawab. Sementara Aditya berdiri di samping Eyang Wiji dengan sedikit canggung. Eyang Wiji mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti.

"Sekarang kuliah atau kerja?" Eyang Wiji melanjutkan tanyanya.

"Kuliah sambil kerja juga, Eyang."

Yusuf yang juga masuk ke dalam kamar eyangnya sedikit menaikkan bibir. Menggerutu dalam hati, melihat Aditya yang terkesan sangat ingin mengambil hati eyangnya.

"Oya? Kuliah di mana? Kerja apa?" Eyang Wiji terlihat antusias.

"Kuliahnya kebetulan bareng sama Hasna juga. Kalau kerjanya, di luar pesantren. Kalau ada orang yang butuh untuk dokumentasi foto atau video pada acara-acara penting. Seperti pernikahan, akikah, ataupun acara-acara lainnya, Eyang."

"Loh, kuliahnya di pesantren juga? Berarti santri?"

"Dulu, iya. Pas masih SMA."

"Sekarang?"

"Sudah nggak, Eyang. Karena tuntutan pekerjaan juga yang harus keluar kadang bisa sampai berhari-hari."

"Bukannya, santri yang sudah kuliah itu juga punya kebebasan untuk bekerja di luar pesantren? Seperti, Yusuf, dulu."

Hasna dan Aditya ikut menoleh ke arah pintu saat Eyang Wiji menunjukkan keberadaan Yusuf di sana dengan dagunya. Hasna sedikit mengernyit, sejak kapan Yusuf ada di sana? Perasaan tadi waktu dia masuk bersama Aditya, Yusuf sama sekali tak terlihat keberadaannya. Yusuf membusungkan dada perlahan, merasa eyangnya kali ini berpihak padanya. Tatapannya juga masih tak lepas dari Hasna.

Aditya tak mungkin menceritakan sebuah rahasia tentang keluarganya di pertemuan pertama mereka. Bagaimana kisah kedua orang tuanya yang harus berpisah tepat saat ia akan melaksanakan Ujian Nasional.
Bagaimana usahanya yang begitu keras untuk membawa mamanya keluar dari trauma, hingga sekarang. Bagaimana ia yang harus mengorbankan keinginannya untuk mengabdi pada pesantren karena kondisi mamanya yang tak mungkin bisa ia tinggal.

"Eyang, Aditya ke sini ingin menjenguk, Eyang, loh. Masa malah diintrogasi begitu?" ujar Hasna saat melirik Aditya yang tampak tak nyaman dengan pertanyaan itu.

"Iya, iya. Haha ..., maaf! Eyang hanya terlalu senang, melihat ada seseorang yang juga begitu peduli pada Hasna."

Hasna mengangkat alisnya, bingung. Aditya sendiri malah tersenyum, sedikit malu dengan respon Eyang Wiji yang bisa langsung menebak perasaannya. Sepertinya, usahanya untuk mendekati Hasna akan berjalan mulus. Begitu pikirnya.

"Peduli?" Akhirnya Hasna melontarkan tanya itu.

"Iya, kalau Aditya tidak peduli pada, Hasna. Mana mungkin dia akan repot-repot ke sini buat jenguk, Eyang, 'kan?"

Yusuf mengigit bibirnya, ada rasa tak terima di hatinya melihat senyum yang terbingkai jelas di wajah Aditya. Juga sapuan rona merah yang terlihat di wajah Hasna. Mereka sama-sama tersipu, seolah-olah lupa, bahwa ada Yusuf di sana.

***

😆😆

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang