17 - Persiapan

4.4K 555 49
                                    

Hasna melipat mukenanya. Ia mematung di depan cermin riasnya. Menatap kotak kecil berwarna hitam di depannya. Perlahan sudut bibirnya tertarik mengingat kejadian tadi siang.

Yusuf menarik lengan Hasna hingga ke parkiran. Semua mata melirik penasaran ke arah mereka. Setelah mendudukkan Salma di tempatnya, ia langsung menyuruh Hasna untuk masuk dan duduk di depan. Tanpa banyak berbicara lagi, ia pun langsung menghidupkan mobil dan pergi dari sana.

Lagi-lagi, jalan mereka lalui terasa sangat panjang. Karena Yusuf tak sedikitpun buka suara. Meski Salma juga berulang kali mengurai tanya tentang jalan. Terpaksa Hasna lah yang menjawab segala tanya dari bibir mungil itu.

Yusuf menghentikan mobilnya di sebuah toko emas. Karena memang tujuan awalnya juga sekalian membeli cincin untuk mahar. Ia memilih salah satu toko emas yang bersebelahan dengan sebuah kafe.

"Pilih aja, mau yang mana?" Akhirnya suara itu muncul juga dari Yusuf.

Hasna melihat-lihat sejenak pilihan dari cincin-cincin yang terpajang di etalase. Ia tidak pernah dihadapkan pada pilihan perhiasan begitu. Biasanya bundanya akan langsung memberikan satu perhiasan untuknya. Berhubung Hasna bukan tipe orang yang pemilih, jadi dia selalu suka dengan apa yang dipilihkan orang tuanya.

"Kak Yusuf aja yang pilih, aku bingung."
Hasna menyerah seraya menatap manik mata Yusuf.

"Cincin untuk apa, Mbak? Biar saya bantu pilihkan yang cocok?" tawar karyawan wanita di depannya.

"Yang ini saja!" ujar Yusuf yang langsung menunjuk sebuah cincin mungil berbentuk hati.

"Oke, dicoba dulu ya, biasanya kalau pas berarti jodoh." Karyawan itu mencoba menggoda Yusuf dan Hasna.

"Salma juga mau Kak Yusuf!" celetuk Salma di samping Hasna.

Yusuf langsung menggendong Salma dan membawanya ke etalase yang berbeda dengan tempat Hasna. Benar, cincin itu pas di jari Hasna.

"Kalau begitu, ini saja, mbak!" Hasna menyerahkan kembali cincin di tangannya. Ia beralih melihat-lihat perhiasan yang lain. Sejenak ia lupa, bahwa ia tengah bersama dengan Yusuf saat ini.

Yusuf mengulurkan sebuah kotak kecil dari sakunya, lalu mengulurkannya ke depa Hasna saat mereka sudah berada di luar toko perhiasan. Hasna melipat keningnya, kotak itu terlalu besar untuk ukuran sebuah cincin yang tadi dipilihnya.

Hasna menerimanya ragu. Ia bermaksud untuk membukanya langsung, tapi Yusuf mencegahnya. Akan lebih bagus jika Hasna membukanya di rumah, katanya. Hasna menurut saja, karena jika ia masih memaksa untuk membukanya, maka pasti akan ada perdebatan lagi di antara mereka.

Dan kini Hasna baru tahu, jika yang diberi Yusuf bukanlah cincinya. Namun sebuah kalung yang juga mempunyai liontin berbentuk hati di tengahnya. Alasannya, karena Salma inging dibelikan yang sama dengannya.

Berhubung tidak ada cincin untuk ukuran Hasna yang sama dengan pilihannya tadi, jadilah ia membelikan meraka sepasang kalung yang harusnya di pakai oleh seorang ibu dan anak.

*****

Acara akad akan dilaksanakan besok. Mereka melaksanakan acara itu secara tertutup. Hanya keluarga besar mereka, dan beberapa tetangga di sekitar rumah Hasna sebagai saksi. Berhubung itu pernikahan di bawah tangan, maka yang diundang pun hanyalah ustad yang mengerti tentang hukum pernikahan secara agama sekaligus untuk memberikan tausiyah singkat tentang arti dari pernikahan.

Yusuf dan keluarganya juga sudah berkumpul di rumah Hasna. Eyang Wiji yang paling tampak berbahagia.

Bagaimana tidak, keinginannya untuk menyatukan Yusuf dan Hasna akhirnya terkabul. Sesuai dengan permintaan almarhum istirinya dahulu.

Yusuf terus menatap Hasna yang saat itu tengah sibuk dengan laptopnya. Menghabiskan waktu di teras belakang sambil membaca. Amar yang barus saja datang, langsung duduk di dekat Hasna. Melirik sekilas pada pekerjaan di laptop Hasna.

"Wuih ... Hasna bisa desain?" tanya Amar tak percaya melihat Hasna yang tampak fokus pada aplikasi photoshopnya.

Hasna tersenyum tanpa menoleh.

"Sedikit, masih belajar juga kok!" jawabnya kemudian.

Yusuf melirik keakraban di hadapannya. Lekas ia mengetikkan sesuatu di ponselnya, dan mengirimkannya pada Hasna. Tidak direspon, Hasna tetap saja sibuk dengan laptopnya.

"Bisa dong, sekali-kali bikinkan Kak Amar desain untuk web Kak Amar?"

"Insyaallah ...."

Sebenarnya Hasna berusaha bersikap jual mahal di depan Yusuf, agar terlihat keren. Padahal, debaran di dadanya sama saja. Ia bukan tak tahu, Yusuf menatapnya diam-diam. ia hanya berusaha menerapkan teori di dalam buku yang dia baca. Bahwa, laki-laki tidak suka pada wanita yang terlalu memperlihatkan perasaannya. Laki-laki akan lebih menyukai wanita yang bersikap jual mahal di depannya.
Dengan begitu, mereka akan merasa tertantang untuk mengejar wanitanya.

"Keren ...!" Amar mengacungkan jempolnya ke depan Hasna.

Ponsel Hasna kembali berbunyi, Hasna meliriknya sekilas. Ia langsung meraih ponselnya saat melihat nama Yusuf di sana.

[Masuk, istirahat!]

Pesan pertama.

[Kalau sudah punya suami, jangan sembarangan dekat dengan laki-laki. Karena dosa istri juga ditanggung suami. Dan aku sudah ngingetin kamu.]

Pesan ke dua.

Hasna memutar bola matanya, menatap pria yang duduk berhadapan dengannya. Ia sungguh tak habis fikir. Yusuf sepertinya memang tidak bisa bersikap atau bicara baik-baik sama dia. Sms atau ucapannya, sama-sama pedas dan kaku. Hasna mengetikkan balasan untuk Yusuf, lalu cepat mengirimnya.

[Mumpung belum punya suami, masih bebas kan?]

Hasna menatap Yusuf yang langsung membuka pesannya. Mata Yusuf yang semula memperhatikan ponselnya, langsung beralih pada Hasna. Kikuk, ia bangkit dari duduknya saat kepergok melihat Hasna.

"Mau kemana?" tanya Amar saat melihat Yusuf yang beranjak pergi.

"Cari angin!" jawabnya tanpa menoleh.
Amar menepuk pundak Hasna lalu berjalan menyusul Yusuf. Hasna mulai menekuk mukanya.

Heran, sebenernya dia seneng gak sih kita mau nikah?
Kalau masih karena terpaksa, ngapain juga nikah?

Rutuk Hasna dalam hati.

****

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang