15 - Keputusan

5.1K 580 57
                                    

He he ...

Selamat membaca ...

Maafkan, idenya yang lagi gak mau diajak kopromi.. 😁😁


Keluarga Darmawan tampak sudah berkumpul di ruang tengah. Siap untuk mengantar kepergian Hasna dan keluarga. Hasna sendiri juga baru saja keluar dari kamar dengan dua koper di tangannya.

Yusuf mengatur nafasnya sambil melangkah mendekati kumpulan keluarga. Tangannya terasa sangat dingin karena gugup. Detak jantungnya berpacu sangat cepat. Ingin rasanya ia berlari saat itu juga, namun, hatinya tak bisa membiarkannya terlalu lama.

"Yusuf mau bicara." Perkataannya membuat diam semua anggota keluarga yang sejak tadi terdengar ramai.

Beberapa mata langsung beralih ke arahnya, termasuk Hasna yang kini berdiri di sampingnya. Amar melepas kacamatanya, sementara Hadi, ayah Yusuf memasang telunjuknya di depan mulut sebagai kode bagi salma agar tenang.

"Kenapa?" suara berat eyang makin membuatnya gugup.

Yusuf menelan ludahnya, lalu melirik pada Hasna. Wajahnya terlihat sangat tegang. Mira, ibunya jadi ikut cemas. Alisnya bertautan penuh tanya.

"Yusuf siap untuk menikahi Hasna, tapi dengan alasan hanya untuk menjaganya selama di pesantren." Akhirnya kata-kata itu keluar juga.

Amar yang semula bersandar pada lemari langsung berdiri tegak, begitu juga dengan eyang Wiji dan keluarganya yang langsung berdiri dari duduknya mendengar pernyataan Yusuf. Perlahan senyum mereka mulai merekah. Hingga akhirnya berujung dengan saling berpelukan bahagia.

Hasna mematung, ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

Alasan Yusuf padahal sangat jelas, bahwa itu hanya karena dia ingin menjaga Hasna ketika di pesantren, tapi kenapa hatinya masih merasa melayang. Setidaknya, ia punya kesempatan untuk selangkah lebih maju untuk dekat dengan Yusuf.

Amar tersenyum lalu menepuk lengan Yusuf yang sudah menerima pelukan dari banyak orang. "Sadar?" godanya.
Yusuf hanya menanggapinya dengan senyum seraya membuang mukanya.

"Ya sudah, kalau begitu tidak usah pulang saja, kita tunggu sampai akadnya selesai," usul Mira.

"Ide bagus," sambut Lilis, ibu dari Amar.

"Hasna kapan kembali ke pesantren?" tanya Mira.

Hasna menatap bundanya.

"Masih lama, Hasna 'kan sudah harus mendaftar di pesantren baru. Kalau memang Yusuf sudah punya keputusan begitu, berarti Hasna ya harus masuk di pesantren tempat Yusuf," jelas Nur sari.

"Kita juga masih harus mencari tanggal yang pas untuk pernikahannya. Meski hanya sirri, tetap saja harus hati-hati," Eyang menimpali.

"Lebih cepat, lebih baik, Pak!" sahut Mira lagi.

"Sudah, Hasna biar pulang saja dulu. Nanti akadnya langsung di rumah Hasna saja kalau sudah ketemu tanggalnya. Syukur-syukur sebelum Hasna masuk ke pesantren."

Keputusan eyang Wiji sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Keluarga Hasna juga menyetujui itu. Meski hanya nikah sirri, mereka tetap harus mengikuti adat yang memang sudah dipegang oleh orang tuanya.

Mereka sepakat untuk saling berkabar via telepon nantinya. Keluarga Hasna lanjut berpamitan pada eyang untuk pulang. Beberapa koper sudah diangkat oleh Amar dan Yusuf ke mobil. Tak lupa oleh-oleh yang  juga hampir memenuhi bagasi.

Yusuf berlari ke dalam rumah, lalu keluar dengan map yang semalam dikembalikan oleh Hasna. Lebih tepatnya tidak diterima. Ia menyodorkannya pada Hasna yang sudah duduk di dalam mobil.

"Pelajari dulu!" ujarnya lirih.

Hasna mengangguk kikuk. Ini pertama kalinya Yusuf bersikap baik padanya. Setelah mengucap salam, keluarga Hasna pun mulai meninggalkan kampung halaman yang penuh dengan kenangan itu.

****

"Hasna ingat! Meski kalian nanti sudah menikah, kalian tetap tidak boleh sekamar berdua sebelum kalian lulus kuliah." Ayah melirik Hasna di belakangnya.

"Betul, Yusuf kan juga masih mau meneruskan S2 nya," bunda menimpali.

"Siapa juga yang mau sekamar berdua sama Kak Yusuf? Dia pasti udah langsung mencak-mencak duluan kalau sudah berduaan sama aku." Hasna bergumam lirih.

"Jadi Hasna sudah fix ya, pindah ke pesantren Yusuf?" tanya Bunda yang duduk di samping kemudi.

"Insyaallah ..."

"Loh, kok insyaallah? Kalau gak mau di pesantren Yusuf, ya gak perlu nikah sama Yusuf lah."

"Kan masih lama Bunda ... masih ada waktu sebulan lagi buat Hasna mikir 'kan?"

"Loh, Hasna jangan bercanda deh! Yusuf sudah mau, giliran kamu yang jual mahal."

"Emang Bunda suka lihat anak ceweknya jual murah?"

Ayah tersenyum geli mendengar perdebatan bunda dan Hasna.

"Ayah cuma ketawa lagi. Bukannya malah ngedukung Yusuf yang udah mau nikahin anaknya," protes bunda sedikit manyun.

"Lah, yang mau jalanin rumah tangganya kan bukan kita, Bunda. Mereka. Jadi ya terserah mereka berdua lah."

"Iya, memang. Tapi, laki-laki kayak Yusuf itu udah seribu satu di jaman seperti ini."

"Bunda lupa? Dulu kenapa Bunda mau nikah sama Ayah yang notabenenya masih belum terlalu mengerti ilmu agama? Sholat aja jarang-jarang."

"Ya karena cinta, Yah."

"Nah, itu pinter. Bahagia gak?"

"Bahagia lah, kalau gak bahagia masa iya Bunda mau bertahan sampe sekarang."

"Sama halnya dengan Yusuf dan Hasna. Mereka harus saling mencintai dulu, baru bisa berbahagia."

"Betul itu, Bunda!" Hasna mendukung ucapan ayahnya.

"Terserah deh!" bunda menyerah untuk berdebat. Ia memilih untuk menutup matanya, mencoba tidur di sepanjang perjalanan pulang.

Hasna memutar kepalanya ke belakang. Bani sudah terlelap. Pantas saja perjalanan sepi dari bunyi game-nya. Sebuah pesan masuk ponselnya, dari Yusuf. Hasna berdebar, ada sesungging senyum di bibirnya setelah ia membaca pesan itu.

Kalau sudah sampai, kabari!

****

"Keputusan yang bagus!" puji Amar seraya mengulurkan segelas kopi pada Yusuf di depan minimarket langganan mereka.

Yusuf diam tanpa ekspresi. Amar menyesap kopinya sedikit demi sedikit.

"Kenapa ekspresinya begitu? Nyesel?" tanya Amar.

"Bukan, hanya berfikir."

"Udah buat keputusan, tapi masih berfikir? Aneh ya ustad jaman sekarang ini." Amar sedikit tergelak mendengar jawaban Yusuf.

"Mikir, kalau tanggung jawabku sudah bertambah."

"Tanggung jawab karena nikahin Hasna? Kalau masih belum kumpul, kenapa harus bertanggung jawab?"

Yusuf mengangkat alisnya, tak mengerti dengan pertanyaan Amar.

"Maksudnya, Hasna dan kamu kan tinggal di tempat berbeda. Kalau di pesantren, emang kalian bisa dapat satu kamar berdua gitu?" Amar menggoda.

"Hush, sembarangan!" Yusuf sedikit mengangkat siku tangannya ke arah Amar. Amar tergelak.

"Lagian kamu sih, kemakan sama omongan eyang. Yang namanya nikah itu, harusnya sudah bisa langsung kumpul. Gak perlu nunggu, kan udah halal."

"Sekali-kali, kamu emang harus masuk pesantren, Mar! Agar otak kamu itu gak selalu dunia saja!"

Mereka tergelak bersama. Menikmati malam dengan segelas kopi instan di emperan minimarket.

****

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang