37 - Pisah

2.9K 445 66
                                    


"Kak Yusuf, boleh Hasna tanya sesuatu?"

Hasna menatap kakinya yang ia tak beralas kaki.

"Hmm ...." Begitu juga dengan Yusuf yang hanya menjawabnya tanpa menoleh pada Hasna.

"Emh, apa kewajiban seorang suami akan berbeda saat ia menikah sirri atau di KUA?"

Yusuf terdiam. Ia mencari cara yang tepat bagaimana harus menjelaskannya pada Hasna.

"Kewajiban suami itu tidak ditentukan saat ia menikah di mana dan dengan cara apa, Hasna. Karena pada dasarnya, menikah itu haruslah sah di mata agama. KUA itu hanya agar pernikahan kita diakui di mata negara juga. Jadi ada hukum yang bisa kita pakai saat menentukan sesuatu yang ada hubungannya dengan harta yang kita dapatkan selama pernikahan. Begitu juga, agar istri bisa mendapatkan haknya jika ternyata ada perpisahan diantara kita."

Hasna menggigit bibirnya, mencoba mencerna penjelasan dari Yusuf.

"Lalu ..., apa ada kewajiban seorang suami harus selalu dekat dengan istrinya saat sudah menikah?"

Yusuf yang semula hanya melempar pandang pada lambaian daun kelapa, kini mengalihkan pandang pada gadis berlesung pipit di sampingnya. Gadis yang sejak tadi hanya bisa menundukkan wajah. Mencoba memilin kata sebagus mungkin agar menjadi kalimat tanya yang tak perlu menimbulkan debat di antara mereka. Sepertinya Yusuf tahu, ke mana arah pembicaraan gadis cantik itu.

Hasna menoleh pada Yusuf. Mata mereka bersirobok. Mata polos Hasna yang penuh dengan tanda tanya begitu mengganggu Yusuf.

"Gak harus."

Yusuf menjawab, kali ini tanpa mengalihkan pandangannya. Ia ingin tahu, bagaimana reaksi Hasna.

"Kalau begitu ... Kak Yusuf berangkat saja ke Maroko!"

Hasna mengatakan itu tanpa berkedip. Ia juga ingin tahu, apa Yusuf benar-benar tidak mengkhawatirkannya jika ia benar-benar pergi? Atau, Yusuf malah akan berterima kasih karena merasa Hasna sudah mengerti akan dirinya?

****

Hasna berjalan lebih dulu. Ia menyapa Mira yang tengah asyik memanen beberapa hasil kebun di belakang bersama bundanya.

"Ada temen kamu di dalam," ujar Nur Sari.

"Hmm?"

Hasna sedikit terkejut. Yusuf dan Hasna kompak menoleh ke arah rumah. Cepat ia melangkah masuk ke dalam rumah, disusul oleh Yusuf.

Mata Hasna membulat saat melihat siapa yang tengah duduk di ruang tamu bersama dengan Amar dan juga ayahnya. Mereka tampak begitu akrab mengobrol. Yusuf yang saat itu juga tengah berdiri di belakang Hasna cukup terkejut melihat kedatangan pria yang sudah terlalu sering berurusan dengan Hasna itu.

"Adit?" Hasna memanggil nama Adit tak percaya.

Tiga pria di depannya menoleh ke asal suara. Adit langsung bangkit dari duduknya seraya mengurai senyum. Senang melihat Hasna.
Yusuf menarik nafas panjang. Ada gemuruh hebat di dadanya saat melihat Hasna yang langsung menghampiri Aditya tanpa menoleh lagi padanya. Seolah ijin seorang suami sudah tidak penting lagi saat ini.

"Kamu, kenapa bisa ke sini?" tanya Hasna.

"Aku mau jenguk eyang."

Eyang? Dih, eyang siapa? Seenaknya saja manggil kakek orang dengan sebutan eyang? Rutuk Yusuf dalam hati.

"Tapi ... tau dari mana alamat sini?"

Hasna masih bingung, karena jika ia menebak bahwa Aditya tahu dari Ismi, itu tidak mungkin. Dirinya belum pernah memberi tahu siapapun tentang alamat eyangnya, karena dirasa tidak penting. Bahkan, alamat yang ia tulis di formulir pendaftaran ekstra juga alamat rumah orang tuanya.

"Udah, jangan diintrogasi! Tamunya baru dateng, loh!" Ayah Hasna juga bangkit dari duduknya.

"Om, tinggal dulu, ya, Dit!" lanjut Ayah Hasna seraya menepuk pundak Aditya.

Yusuf sedikit memicingkan mata, melihat sikap Ayah Hasna yang terlihat sudah mengenal Aditya sejak lama. Aditya tersenyum seraya mengangguk sopan. Sementara Amar melihat Yusuf yang terlihat tak berkedip menatap Aditya.

"Nah ... ini tehnya!" Nur Sari muncul dari belakang Yusuf membawa nampan berisi satu teko dan beberapa mug kecil di atasnya. Tak lupa sepiring kudapan pisang goreng yang harus selalu tersedia di rumah itu setiap pagi. Menu wajib dari Eyang Wiji. Setelah meletakkan nampan di atas meja, Nur Sari pun kembali masuk ke dapur.

"Duduk, Hasna!" ujar Amar seraya menunjuk tempat duduk yang masih kosong di sampingnya.

Hasna menurut. Sedang Amar malah bangkit dari duduknya dan langsung mengajak Yusuf untuk pergi dari sana. Meski tak ingin, Yusuf terpaksa harus mengikuti langkah Amar karena tak ingin terlihat terlalu aneh di depan Aditya jika dia terlalu menjaga Hasna. Lagipula, ia masih tak nyaman dengan perkataan Hasna tadi di sawah.

"Dari awal, Kak Yusuf nikahin Hasna hanya karena permintaan eyang, bukan? Hasna tahu, dari dulu, Kak Yusuf adalah cucu yang selalu menuruti ucapan eyang. Termasuk, saat Kak Yusuf masuk ke dalam pesantren. Itu juga keinginan eyang, 'kan?"

Yusuf menautkan alisnya, bagaimana Hasna bisa tahu itu. Apa orang tuanya bercerita pada Hasna?

"Jadi, apa salahnya kalau sekarang Kak Yusuf mengikuti kata hati Kak Yusuf sendiri. Jelasin sama eyang, apa manfaatnya buat Kak Yusuf dengan pergi ke Maroko. Gak usah mikirin Hasna."

Hasna tersenyum, lalu menatap langit di atasnya agak lama. Ia tengah menahan air mata, agar tak sampai keluar di depan Yusuf. Ia sudah berusaha untuk tampil kuat di depan Yusuf sejauh ini. Bahkan, dia sudah merangkai kata-kata ini dari semalam, setelah dirinya berbincang dengan sang eyang mengenai keinginan Yusuf. Jadi, akan menjadi lucu jika ternyata ia harus menangis dan menunjukkan kelemahannya di depan Yusuf.

"Hasna juga sudah cari tahu dari google, bahwa Kak Yusuf masih belum punya kewajiban apa-apa atas diri Hasna karena kita belum pernah melakukan hubungan suami istri. Hasna juga tanya sama temen-temen di pondok Hasna dulu, bahwa ..."

"Maksud kamu, apa? Jangan berbeli-belit!" potong Yusuf.

Hasna menggigit bibirnya, "Hasna mau kita pisah," lanjutnya kemudian setelah menguatkan hati.

"Maksud kamu?" Yusuf mencoba memastikan ucapan Hasna.

Hasna menelan salivanya, ia tak peduli jika air matanya tak bisa ia bendung lagi.

"Kalau Kak Yusuf gak punya kewajiban atas diri Hasna, kenapa juga harus ngorbanin diri demi ,Hasna? Hasna gak mau jadi orang yang menghalangi kesuksesan orang lain. Apalagi kesuksesan orang yang Hasna sayang."

Gadis di depannya menutup wajah, menyembunyikan deraian air mata yang tak bersuara. Gerakan naik turun punggungnya yang mengungkap kesedihan. Bahwa apa yang akan ia ucapkan lewat lisan, nyatanya hanya bisa ia ungkapkan lewat tangisan.

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang