36 - Pagi

2.5K 413 45
                                    

Bismillah ..
Terima kasih buat reader yang selalu koment dan vote cerita ini. Ceritanya udah dipinang penerbit 🙊

Tapi insyaallah nanti tetep sya selesaikan di WP. Jadi slow up ya.. ☺️
---------------------------------

Hasna sedikit mengangkat roknya agar tak terkena butiran embun yang masih banyak menempel di pematang sawah hingga terlihat sedikit betis berwarna kuning langsat itu. Yusuf yang berjalan di belakangnya langsung menelan salivanya. Ia sedikit berdehem seraya mengalihkan pandangannya ke pemandangan sekitar. Matanya menyipit, menahan degup jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak cepat.

Ish ..., rutuknya dalam hati sambil menyentuh dada sebelah kiri. Hasna menghentikan langkahnya. Ia sedikit menyerong, mencoba melihat Yusuf yang terdengar berdehem di belakangnya. Beruntung Yusuf juga tengah menghentikan langkahnya, jika tidak, bisa-bisa dia dan Hasna sudah terjerembab masuk ke dalam sawah.

"Kenapa?" tanya Hasna.

"Rok kamu!"

Hasna melihat ke arah roknya yang ditunjuk Yusuf. Memperhatikannya dengan seksama.

"Kenapa?" tanyanya lagi setelah dirasa tidak ada yang aneh di sana.

Sekali lagi Yusuf menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Itu ..."

"Dih, Kak Yusuf, ah! Jangan nakutin, deh!" Hasna malah berbalik mendekati Yusuf dan langsung melingkarkan tangan di lengan Yusuf.

"Astaghfirullah ...!" Yusuf menggigit bibir.
Mulutnya mengerucut, pipinya sedikit melembung. Ia tengah mengeluarkan nafas pelan-pelan dari sana. Jantungnya makin tak karuan.

Sementara Hasna sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. Khawatir ada ulat atau serangga lain yang dimaksud Kak Yusufnya tadi. Ia masih tak menyadari wajah Yusuf yang sudah berubah pink karena syahwat yang tengah ditahannya.

Perlahan wajah Hasna beralih pada Yusuf yang masih mencoba membuang muka kea rah lain. Alisnya bertaut melihat wajah Yusuf yang memerah.

"Kak Yusuf, kenapa?" tanyanya polos.
Yusuf melirik Hasna yang tingginya jauh di bawah Yusuf itu.

"Kamu jalan di belakang Ka Yusuf aja!"

Yusuf langsung melangkahkan kakinya melewati Hasna. Ia sengaja mengambil langkah lebar ke depan agar bisa cepat menjauh dari Hasna. Mencoba menenangkan pikirannya yang mulai berjalan ke mana-mana.

Langkahnya menyusuri pematang sawah dengan cepat. Menuju sebuah pondok tanpa tabir yang biasa digunakan para petani untuk berteduh atau sekedar beristirahat melepas penat karena sudah bermandi peluh di tengah sawah. Pondok itu juga terkadang digunakan untuk para istri yang setia mengantar makanan untuk suaminya yang kebanyakan hanya mengganjal perut mereka dengan pisang goreng ataupun singkong rebus di pagi hari.

Pagi itu, langit tidak secerah biasanya. Warna birunya berubah menjadi abu-abu. Persis seperti warna bergo yang tengah dipakai Hasna saat itu.

Beberapa petani juga sudah nampak menyusuri pematang lainnya. Ada yang membawa cangkul, arit, ataupun knapsack sprayer. Siap untuk melaksanakan tugas mereka sebagai kepala rumah tangga. Mencari nafkah untuk anak istrinya yang mungkin baru bisa dipanen tiga sampai enam bulan ke depan.

Sebenarnya, kebanyakan dari mereka bukanlah pemilik dari petak-petak sawah itu. Melainkan hanya buruh yang mau dibayar harian atau bahkan menunggu hingga musim panen tiba dengan prosentase hasil panen. Pemilik dari sawah-sawah itu rata-rata adalah orang-orang yang memilih untuk bekerja kantoran atau bahkan berbisnis hingga ke luar kota.

Berbeda dengan keluarga Yusuf. Meski mereka juga memiliki beberapa petak sawah yang dikelola oleh orang-orang yang sudah dipilih sang eyang, Ayah Yusuf dan Eyang Wiji kadang juga masih sering menyambangi sawah. Sekedar untuk menemani para buruh menggarap sawah mereka.

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang