18 - Pilihan Yusuf

5.1K 642 69
                                    

Assalamu'alaikum..
Mohon maaf kalau tayangnya lama nggeh..

Jangan lupa vote dan komentnya, biar ada semangat buat lanjut nulisnya..

😁😁😁

Malam yang ditunggu tiba. Hasna berdiri di depan cermin dengan debar yang menggeletar di dadanya. Wajahnya sudah cantik dengan riasan bunga melati berpadu dengan hijab gold menutup seluruh area kepala dan leher. Kebaya berwarna senada juga terlihat sangat pas ditubuhnya.

Hena berwarna merah hanya terhias di jarinya, karena Yusuf yang tidak membolehkan untuk menghias seluruh tangannya. Gak bagus, katanya. Untuk mahar, Hasna sempat meminta bacaan salah satu surat dalam Alquran pada Yusuf. Namun lagi-lagi Yusuf menggeleng tak setuju.

"Mahar yang terlihat dan berupa harta itu lebih baik dari pada bacaan Alquran, Rosul sendiri menganjurkan untuk memberi mahar perhiasan jika punya, jika tidak punya, makanan, jika tidak punya juga baru jasa, atau bacaan Alquran," tegas Yusuf pagi itu di telepon. Makanya Hasna dan Yusuf sepakat untuk membeli cincin sebagai maharnya.

Yusuf duduk berhadapan dengan seorang ustadz yang sudah ditunjuk untuk menjadi wali hakim oleh ayah Hasna. Eyang Wiji, dan kedua orang tua laki-laki dari Hasna juga Yusuf, ikut duduk di sekeliling meja. Beberapa tetangga sebagai penguat saksi turut hadir di ruangan itu.

Hasna duduk di belakang Yusuf, di damping oleh Nur Sari dan Mira, ibu Yusuf. Menunggu Yusuf selesai mengucap janji di depan penghulu. Prosesi ijab qobul berlangsung khidmat. Sebagaimana pernikahan resmi lainnya, pernikahan itu juga di iringi oleh deraian air mata dari keluarga.

Yusuf beringsut mendekati Hasna. Membawa kotak cincin yang kemarin dibelinya. Beberapa kali ia terlihat mengeluarkan nafas dari mulutnya. Pertanda bahwa ia tengah berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Padahal, masa ijab qobul sudah selesai.

Hasna pun tak kalah gugup, saat bundanya berbisik untuk segera mengulurkan tangannya ke arah Yusuf. Yusuf sudah lebih dulu menadahkan tangan kirinya, sementara tangan kanannya siap untuk melingkarkan cincin di jari manis Hasna.

"Bismillah ...," ucap Yusuf lirih saat tangan Hasna sudah berada di atas tangannya.

Perlahan, cincin yang sudah di pilihnya itu kini berpindah tangan. Tangan Yusuf yang terasa dingin, ia pasrahkan untuk mendapat ciuman pertama dari Hasna. Sembari merapal doa untuk Hasna di atas ubun-ubunnya.

"Allahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltaha 'alaihi
Wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi."

(Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya.)

****

Acara tasyakuran di rumah Hasna sudah selesai. Malam itu semua keluarga masih bermalam di sana. Besok baru akan kembali ke rumah masing-masing, termasuk Amar dan Yusuf yang saat ini masih menghabiskan malam di teras rumah Hasna.

"Keputusan kamu gak masuk akal menurutku," ujar Amar sambil menyeruput tehnya.

"Kenapa?"

"Masa hanya karena mau jagain Hasna di pesantren, kalian harus menikah begini. Kalau memang harus menikah, kenapa gak langsung di daftarkan saja pernikahan kalian?"

Hasna yang saat itu tengah berjalan ke arah dapur karena hendak mengambil minum, memutar langkahnya ke arah pintu depan yang tak tertutup. Kakinya terhenti di sebelum bingkai pintu saat melihat suami dan kakak sepupunya yang lain tengah menghabiskan malam bersama.

"Aku masih mau melanjutkan S2 ku di luar negeri, Mar. Syarat dari pesantren, aku harus lajang, alias tidak ber istri. Berhubung eyang sangat keukeuh ingin melihat aku berjodoh dengan Hasna, ya ... aku ambil jalan pintas saja."

"Kenapa tidak tunangan saja!"

"Kamu seperti tidak tahu adat di desa kita saja. Tunangan itu sudah bisa ke mana-mana berdua, tapi aku tidak bisa menerapkan itu. Karena aku sudah tahu ilmunya, bahwa haram bagiku untuk berduaan dengan Hasna sebelum menikah, karena kita tetap bukan mahrom."

"Pikiranmu terlalu jauh, Suf!"

"Tunangan apa bedanya dengan pacaran? Sama saja. Perbedaannya hanya terletak pada ijin dari dua keluarga. Jika pacaran terkesan diam-diam, maka tunangan sebaliknya. Tapi hubungan keduanya tetaplah belum sah di mata Allah."

"Lalu ... dengan menikahi Hasna, kentungannya apa?"

"Paling tidak, saat eyang menyuruhku untuk menemuinya, aku tidak perlu mengajak teman lagi untuk menemaniku."

"Bukan karena kamu memang menyukai Hasna?"

Yusuf terkekeh.

"Aku tidak tahu, yang aku tahu, dia sudah menjadi istriku sekarang. Meskipun di pesantren, kami tetap harus menyembunyikan hubungan ini."

"Kenapa? Katanya sudah sah."

"Tetap saja, beasiswaku bagaimana kalau ketahuan aku sudah beristri, bisa dicekal nanti."

Hasna menggigit bibir, ada yang menusuk di relung hatinya kali ini. Padahal kemarin, ia sempat terbang ke awan. Saat Yusuf membelikannya sebuah kalung. Ia pikir, Yusuf sedikit menyukainya, tapi karena gengsi, ia masih tak mau mengakuinya.

Namun saat ini, pernyataan Yusuf benar-benar menorehkan luka di hatinya. Berarti, sikap dingin dan cuek yang ditampakkan Yusuf selama ini, bukan karena ia ingin menutupi perasaannya terhadap Hasna. Melainkan karena ia memang tidak menyukai Hasna.
Hasna menarik langkahnya mundur, menjauh dari bingkai pintu. Niatnya yang semula hendak mengambil minum diurungkannya. Ia berlari secepat mungkin dalam remang menuju kamarnya, lalu membenamkan wajahnya di atas dipan untuk menyembunyikan isaknya.

"Terus, kalau kamu di suruh milih, Hasna atau beasiswamu?"

Yusuf mengangkat wajahnya ke arah langit. Menatap bulan yang berbentuk bulat sempurna. Mematung beberapa saat di sana, seolah mencari jawaban di antara bising jangkrik. Amar sampai ikut-ikutan menatap langit.

"Jika aku di suruh memilih, maka pilihanku tetap pada Hasna. Karena Allah tidak menyukai perceraian. Aku akan berusaha untuk selalu mempertahankannya, meski saat ini aku sendiri juga masih mencari tahu tentang rasaku padanya. Bagaimanapun, ridho Allah haruslah yang paling utama."

Amar tersenyum, ia menatap wajah Yusuf yang tampak bersungguh-sungguh dengan jawabannya. Ada anggukan kecil di kepalanya, sebelum akhirnya ia kembali menatap langit.

****

Rahasia [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang