17. Berhasil

688 64 30
                                        

Gemala naik ke rooftop. Ia mengintip lebih dulu siapa tau saja ada orang. Dirasanya aman, Gemala duduk di kursi yang ada di sana. Sepertinya sepi karena semua orang sedang menonton final turnamen.

Bayang-bayang menjijikan itu tidak pernah sekali pun luput dari ingatan Gemala. Seolah ia hidup untuk terus dikejar bayang-bayang itu. Tiada hari tanpa rasa takut bertemu orang asing.

Dada Gemala bergerak naik turun. Segera ia mengobrak-abrik tasnya dan menelan beberapa butir obat.

Tangis Gemala pecah. Seberapa lama dirinya harus hidup dengan obat di tangannya? Dirinya juga ingin hidup normal seperti yang selayaknya. Memiliki teman, hang out, dan menghabiskan waktu masa remajanya sebaik mungkin.

"Belajar ikhlas."

Gemala spontan menoleh. Ia menyeka air matanya dan memberi tempat untuk Teresa duduk. Teresa duduk di samping Gemala. Tangannya menepuk pelan bahu Gemala. "Harus ikhlas. Gak boleh gini terus."

"Emang lo tau apa yang udah gue lewatin?"

"Tau," jawab Teresa.

"Lo ngelewatin banyak hal dan lo milih untuk menutup diri sama semua orang karena masa lalu lo itu." 

Gemala terdiam. Bagaimana Teresa bisa tahu? Rasanya ia tidak pernah menceritakan apa-apa. Memang dari awal ia sedikit aneh dengan Teresa. Cara Teresa berbicara seolah Teresa tahu semua masalahnya.

Teresa tersenyum tipis melihat wajah bingung Gemala. "Belajar ikhlas dan jangan terus nyakitin diri sendiri. Kalau lo aja gak bisa sayang sama diri lo sendiri, gimana orang lain. Lebih baik kalau lo mau berdamai sama masa lalu lo. Jadi lagi diri lo yang sesungguhnya. Lakuin apa pun yang lo mau."

"Lo itu sebenarnya siapa sih?" tanya Gemala dengan tatapan lurus ke depan.

Teresa tiba-tiba berdiri. "Gue turun dulu. See you."

Seperginya Teresa, Gemala hanya mampu membisu.

-gray-

Pertandingan semakin sengit. Skor SMA Negara 6 poin lebih unggul ketimbang SMA Bangsa. Entah karena Juan dkk tidak latihan beberapa hari ini atau lawan mereka yang lebih kuat. Yang dari tadi menjadi perhatian adalah Juan yang benar-benar tidak memiliki semangat bermain.

Pritt!!

Babak ke-3 selesai. Tersisa beberapa menit untuk istirahat dan masuk ke babak terakhir. Kedua tim menepi. Juan meneguk air mineral hingga habis.

"Dam, lo nanti masuk main," ucap Raden.

"Lo gak mau main lagi, Den?" tanya Gerald dengan napas ngos-ngosan.

"Bukan gue, tapi Juan."

Semuanya langsung menatap ke arah Juan. Juan menatap Raden dengan wajah bertanya maksud dari ucapan tadi.

Raden membuang botol di tangannya. "Lo istirahat aja, biar Adam yang main."

"Gak usah, gue masih bisa main," jawab Juan.

"Bukan masalah bisa atau enggaknya. Fokus lo ke mana-mana waktu main. Mending lo istirahat aja."

Juan menatap Raden dengan wajah tidak suka. "Lo kenapa sewot tentang gue sih? Lo main, main aja. Gak usah ngurusin gue."

"Apaan sih lo? Niat gue baik, biar lo istirahat. Percuma juga kan lo main kalau pikiran lo ke mana-mana," sahut Raden.

Juan maju selangkah. Ia menatap Raden dengan sinis. "Gue di sini kapten. Jadi, mending lo diem dan main aja."

Raden tidak mau kalah. Ia juga melemparkan tatapan tajamnya. Tangannya mengepal erat. "Dam, lo tetap gantiin Juan." Kali ini ucapannya terdengar memerintah.

"Mau lo apa sih?!" sinis Juan.

BUGH!

Raden melayangkan sebuah pukulan di wajah Juan. Tangannya mencengkeram erat baju Juan dan membawa temannya itu duduk di tempat yang sudah disediakan khusus pemain.

Semua orang yang ada di sana tentunya terkejut dengan aksi Raden yang memukul temannya sendiri. Oliv bahkan langsung turun dan menghampiri Raden dan juga Juan.

Gerald berniat memisahkan kedua temannya. Namun, pergerakannya ditahan oleh Jevri. Jevri menggeleng kecil, pertanda jangan.

"Lo gak bisa dibilang baik-baik kan? Gue cuma minta lo istirahat. Ada banyak tim cadangan kita yang bisa gantiin lo. Dan soal kapten, lo gak layak disebut kapten dengan tingkah lo yang kayak tadi," ucap Raden masih dengan tangan mencengkeram baju Juan.

Juan mendorong Raden dengan kasar. Kepalanya benar-benar terasa mendidih. Kedua tim dipanggil untuk bermain lagi karena waktu istirahat sudah habis.

"Jagain temen lo itu," ucap Raden pada Oliv.

Raden dan yang lainnya berjalan ke lapangan. Tentunya dengan Juan yang digantikan oleh Adam. Juan hanya mampu mengepalkan tangannya, gatal ingin membalas pukulan Raden. Namun, sadar situasi yang tidak seharusnya, ia memilih diam di tempatnya.

Oliv memberikan sebotol air dingin kepada Juan. Juan menerima dan meneguknya hingga habis. Semuanya kembali tenang namun beberapa penonton masih melirik ke arah Juan.

Tim SMA Negara tersenyum kemenangan, padahal babak terakhir belum dimulai. Mereka menyimpulkan bahwa lawan main mereka tidak akan lebih unggul.

Wasit melempar bola ke atas dan kedua tim mulai bermain. Raden mengambil bola dan berusaha sekuat mungkin agar bola tidak jauh ke tangan lawan. Ia mengoper bola tersebut kepada Gerald.

"Lo dari tadi keliatan gak fokus. Ada masalah?" tanya Oliv.

"Enggak," dingin Juan.

Raden terus mencetak poin 5 kali berturut-turut hingga selisih skor dengan SMA Negara hanya berbeda 1 poin. Jevri dan Gerald saling melempar senyuman. Sekali main, tidak main-main.

Adam menerima bola yang dilempar Jevri. Ia men-dribble bola tersebut hingga ke arah ring. Namun, bola tersebut berhasil direbut oleh tim lawan. Tidak memberikan kesempatan SMA Negara untuk mencetak poin, Gerald dengan sigap merebut kembali bola tersebut dan memasukkannya ke ring. Masuk!

"Shit!"

Raden tersenyum bangga. Sekarang skor keduanya seri. Tim lawan berusaha mencetak poin agar bisa memenangkan turnamen ini. Tentu saja Raden dan yang lainnya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mereka memperkuat benteng penjagaan mereka.

Juan terus memperhatikan Raden dari tempatnya. Raden melakukannya dengan sangat baik. Hanya saja dirinya masih tidak mengerti mengapa Raden begitu marah saat dirinya ingin tetap ikut bermain.

Raden sekarang yang memegang kendali bola. Ia berlari ke ring lawan dan mengambil ancang-ancang untuk melempar bola. Saat bola sudah terlempar ke arah ring, tiba-tiba salah satu pemain lawan menendang tulang kering Raden. Semua pasang mata membulat melihat kecurangan tersebut. Sudah sangat jelas bahwa pemain tersebut melakukannya dengan sengaja.

Alih-alih memperhatikan Raden, beberapa penonton justru terpaku dengan bola yang menggelinding di atas ring. Raden yang sedang menahan sakit di tulang keringnya benar-benar berharap bola tersebut masuk ke ring.

Dug! Dug!

Bola sudah terjatuh dan memantul di lapangan. Seketika semuanya terdiam sejenak sampai beberapa kelompok bersorak. "WOII MENANG!"

PRIT!

Raden tersenyum dengan lebar. Semua temannya tiba-tiba dengan serentak menggendongnya.

"SEKOLAH KITA MENANGG!"

Juan tersenyum tipis, sangat tipis. Ia akui Raden bermain dengan sangat bagus, bahkan terlihat sangat berambisi ingin memenangi turnamen ini.

"Lo gak ke sana?" tanya Oliv melihat Juan yang masih duduk di tempat, tidak bergabung dengan timnya di lapangan.

Juan menoleh. Kepalanya menggeleng kecil. "Gue mau keluar."

___

25/12/20

Gray [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang