15. Berbeda

680 69 21
                                        

Semifinal turnamen dilaksanakan pada hari ini. Jika SMA Bangsa berhasil menang di pertandingan kali ini, selanjutnya mereka akan langsung masuk ke babak final.

Raden datang dengan pakaian basket sekolahnya. Mungkin Juan ada benarnya. Ia terkesan sangat kekanak-kanakan karena langsung tidak ikut turnamen. Namun, sekali lagi, marahnya beralasan.

Raden menyusul teman-temannya yang berada di lapangan. "Juan mana?" tanyanya saat tidak melihat Juan.

"Pergi bentar katanya. Ntar lagi juga balik," jawab Gerald.

Raden menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menyimpan semua barangnya di kursi dan berpamitan pada temannya. "Gue pergi bentar."

"Jangan lama-lama!"

Raden pergi mengunjungi kelas Gemala. Tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya beberapa belakangan ini. Ia hanya sedang mengikuti apa yang dirinya ingin lakukan.

Menyusuri beberapa lorong untuk tiba di kelas Gemala, Raden melihat Gemala tengah menenggelamkan kepala di atas meja. Melihat ada banyaknya orang di kelas Gemala, ia lebih dulu memikirkan cara untuk mengusir semut-semut ini.

"Eh, kok kalian masih pada di sini sih?" tanya Raden dengan wajah bingung.

Gemala mendongakkan kepalanya saat mendengar suara seseorang. Sedang apa Raden di sini?

"Emangnya ada apa, Kak?" sahut salah satu siswi di kelas Gemala.

"Lo lupa hari ini sekolah kita tanding? Kasih semangat dong. Sana ajak temen-temen sekelas lo turun," ucap Raden kemudian mengedipkan sebelah matanya.

Siswi tadi menahan senyumnya. Ia menyuruh semua teman-temannya untuk keluar, terkecuali Gemala. Dirinya sungguh malas untuk berurusan dengan gadis itu. Lagi pula kekurangan supporter seperti Gemala tidak akan membuat sekolahnya kalah.

Raden duduk di hadapan Gemala. "Gimana tidur lo tadi malam? Nyenyak?" 

Gemala diam. Jawaban seperti apa yang harus ia lontarkan? Ketenangan tidak pernah sekalipun datang menyelimuti dirinya. Setiap malam pekerjaannya hanyalah mengurung diri dan menangis di sudut kamar. Apa itu jawaban yang harus ia katakan?

"Biasa aja," jawab Gemala.

"Gak mau turun?"

Gemala menatap Raden. Ia menatap sebentar kemudian menggelengkan kepalanya. Dirinya sudah terlalu nyaman berada di kelas. "Lo ikut main ya?"

Raden mengangguk. "Lo beneran gak mau turun? Semuanya pada turun ke bawah."

Sekali lagi Gemala menggeleng dengan mantap. Seolah sudah menjadi jawaban mutlak, Raden pun mengangguk. "Kalau gitu gue turun dulu," ucapnya.

Gemala tidak bereaksi apa pun. Ia tahu bahwa ini sangat berbeda dengan dirinya yang kemarin. Kemarin ia merasa sangat lepas dan terlihat seperti bukan dirinya yang sekarang.

Gemala menyadari bahwa kemarin ia telah melakukan kesalahan. Maka dari itu, ia mencoba bersikap seperti dirinya yang biasa pada Raden.

Raden masih berada di tempatnya. Ia tiba-tiba menarik tangan Gemala dan membawa Gemala keluar. Gemala terperanjat kaget. "Eh, mau ke mana?"

"Turun. Gak baik sendirian terus di kelas," jawab Raden.

Seseorang dari jarak yang tidak begitu jauh dari sana tersenyum sinis. "Lebih murahan dari yang gue kira."

Gemala melepaskan cekalan tangan Raden. Ia tidak mau orang-orang melihatnya bersama dengan kakak kelasnya yang satu ini. Raden pun tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berjalan bersebelahan ke arah lapangan.

Terlihat semua tim sudah berkumpul di tepi lapangan untuk mempersiapkan semifinal yang akan segera dimulai. Raden membawa Gemala duduk di bangku yang kosong. "Duduk, nonton."

Gemala menghela napasnya. Ia menatap Raden sekilas. "Oke."

Raden tersenyum puas. "Anggep aja lo penonton bayaran gue. Nanti gue bayar," bisik Raden karena suasana yang terlalu ricuh.

Merasa tidak nyaman dengan situasi ini, Gemala langsung mengiyakan saja ucapan Raden. Raden pun turun ke lapangan dan melihat Juan yang belum menampakkan diri.

"Juan belum balik ke sini?"

"Belom, gue juga bingung dia ke mana," jawab Gerald.

Tidak lama kemudian, Juan datang dengan santainya, sedangkan semua temannya menatap Juan dengan tatapan kesal dan juga panik. "Dari mana aja lo?" tanya Raden.

"Dari atas."

Ekspresi Raden tiba-tiba berubah. Juan mengangkat sebelah alisnya melihat ekspresi Raden yang aneh. "Kenapa lo?"

Raden menggelengkan kepalanya. "Enggak. Buruan, bentar lagi mulai."

-gray-

Gemala tidak menyaksikan pertandingan di hadapannya. Di keramaian ini ia merasa kesepian. Di antara sorak sorai ini ia merasa hampa. Pikirannya melayang ke kehidupannya yang menyedihkan selama ini. Luka yang bahkan belum kering sepenuhnya kemudian dihantam dengan benda tajam yang membuat luka sebelumnya kembali basah.

Ingin sekali Gemala menusuk dada orang yang sempat melecehkannya beberapa waktu lalu, tapi apa itu kemudian bisa membuat lukanya sembuh? Apa kemudian membuat dirinya lupa dengan kejadian itu?

"WUOOO! MENANG CUI!"

Lamunan Gemala terbuyarkan karena teriakan dari sekelompok orang. Ia kemudian melihat tim dengan pakaian basket berwarna biru tua sedang berpelukan satu sama lain. Terlihat tawa dan kebahagiaan di wajah mereka semua terkecuali satu orang, Juan.

Gemala menyipitkan matanya guna melihat lebih jelas wajah Juan. Ia tidak salah lihat. Wajah Juan memang terlihat paling berbeda. Semua teman-temannya bersorak, sedangkan Juan hanya tertawa dengan wajah dipaksakan.

Juan melirik Gemala sekilas kemudian membuang tatapannya. Gemala jadi bingung, seperti bukan Juan yang ia kenal. Apa Juan sedang ada masalah? Sebentar, kenapa ia harus peduli? Namun bagaimana pun Juan pernah mengantarnya pulang setelah insiden saat itu. Ia cukup berhutang budi pada Juan.

___

pas diedit baru tau kalau part ini pendek. idenya cuma muat segini heheheh

23/12/20

Gray [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang