14. Kapal

783 74 27
                                        

Raden menggandeng tangan Gemala, membantu gadis itu naik ke atas kapal. Ia menyuruh Gemala duduk di salah satu kursi yang menghadap langsung ke arah laut.

Kombinasi hitam dan oranye membuat langit terlihat sangat cantik ditambah dengan angin yang membelai wajah. Raden melihat bawahan Gemala yang sedikit beterbangan karena angin di laut cukup kencang. Ia kemudian melepas jaketnya dan menutup paha Gemala.

Raden mengeluarkan headset dari tasnya. Ia letakkan di atas jaketnya yang berada di paha Gemala.

Gemala bingung. Untuk apa?

"Dipakai aja dulu," suruh Raden yang tahu Gemala kebingungan.

Gemala memasang headset. Raden kemudian memegang ujung colokan dan dihubungkan ke handphone-nya. Awalnya Gemala tidak mendengarkan apa pun, sampai pada detik ke-5, terdengar alunan piano yang sangat merdu di telinganya.

Kedua mata Gemala terpejam, menikmati lagu yang diputar. Rasanya ... ah mantap! Enggak, becanda. Rasanya sangat tenang. Di atas kapal dengan angin berhembus ditemani lagu Sampai Jadi Debu - Banda Neira.

Raden tersenyum simpul. Nampaknya Gemala sangat menikmati suasana di sini. Tenang, sepi, dan nyaman. 

"Ketika Tuhan ngasi lo cobaan, Tuhan tau lo pasti bisa ngelewatin itu."

Gemala membuka matanya. Ucapan Raden berpas-pasan dengan lagu berakhir. Raden tiba-tiba menarik pergelangan tangan kirinya. Raden menarik dengan pelan lengan pakaian Gemala.

"Tangan lo harusnya bisa lebih berguna buat orang banyak." Tangan kiri Gemala yang menampilkan luka sayatan yang mulai mengering.

"Gue gak berguna," sahut Gemala.

"Itu menurut lo, gak menurut orang lain."

Gemala menarik tangannya yang dipegang oleh Raden. Namun, Raden malah menahannya hingga tanpa sengaja menekan luka sayatannya. Ia meringis pelan.

Raden memutar matanya. Ia kemudian melepaskan pegangan tangannya pada Gemala. "Harusnya itu dibawa ke rumah sakit," ucap Raden dengan nada kesal. Entah kenapa ia merasa kesal melihat luka sayatan Gemala.

"Apa alasan lo ngelakuin semua ini?"

"Apa lo ngerasa lebih baik ketika bisa ngelukain diri lo sendiri?"

"Iya," jawab Gemala.

Raden memutar tubuhnya menjadi bersandar ke pembatas kapal sehingga ia bisa melihat wajah Gemala dengan jelas. "Kalau gitu kasi gue alasan kenapa lo ngerasa lebih baik ketika ngelukain diri lo sendiri."

"Karena gue capek," ucap Gemala dengan tatapan ke depan.

"Dan ...."

Raden menatap Gemala dengan mata tidak berkedip. "Dan gak ada orang yang bisa gue jadiin teman buat cerita."

"Gue bisa dijadi-"

"Gue gak butuh temen." Kalimat yang sama yang Gemala lontarkan saat bersama Juan. Terdengar kejam, tapi ia memang tidak bisa mempercayai siapa pun untuk menjadi seseorang yang bernama 'teman'.

Terkadang Gemala butuh seseorang untuk mendengar ceritanya, tapi ia tidak ingin punya teman. Begitulah. Menaruh kepercayaan pada seseorang itu sulit.

"Belum juga gue selesai ngomong udah dipotong," decak Raden, "gue bisa dijadiin tempat curhat."

"Kalau lo minta saran ke gue, mungkin agak susah, tapi kalau lo pengen cerita apa pun, gue siap kapan pun itu. Ketimbang lo nyayat tangan lo, mending lo pukul gue," ucap Raden.

Raden tersenyum sekilas. "Gue tahan banting."

"So, deal?" Raden mengulurkan tangannya sambil mengangkat kedua alisnya. Jari tangannya tidak bisa diam, menunggu jawaban dari Gemala. "Kalau lo ngerasa gak enak sama gue, ini gak gratis. Gue bakal minta lo traktir gue makan tiap kali lo habis cerita sama gue."

Gemala mengulum senyumnya. Entah kenapa rasanya lucu. Tangan Raden masih melayang di udara tanpa dijabat oleh Gemala. "Lo masih ngerasa gak enak makanya gak jabat tangan gue?"

Raden memegang pergelangan tangan kanan Gemala. "Oke, kalau gitu gue bakal pegang tangan lo kayak gini." Ia kemudian mencengkeram rahang Gemala, tapi dengan pelan. Ia memperagakan ulang yang ia lakukan pada Gemala saat pertama kali mereka bertemu.

Gemala langsung melepaskan pegangan tangan Raden kemudian menjabat tangan Raden. Ia bahkan menyunggingkan senyumnya.

Tunggu. Gemala tersenyum? Raden mengerjapkan matanya berulang kali. Kali saja ia salah lihat. Ia bahkan memajukan wajahnya untuk melihat senyum Gemala di langit yang sudah menggelap ini.

"Lo senyum, Gem?" tanya Raden dengan wajah polos.

Senyum Gemala malah semakin melebar. Ia tidak tahan melihat wajah Raden yang bingung sekaligus terkejut itu.

Raden masih terpaku dengan senyum Gemala. Manis. Demi apa ia bisa melihat senyum Gemala yang sangat manis ini? Rasanya ia ingin memakan wajah Gemala saat ini juga, tapi bisa-bisa ia mati hidup-hidup di atas kapal ini.

Tidak terasa matahari sudah terbenam dengan sempurna. Sepertinya sudah saatnya untuk mengantar Gemala pulang. "Balik yuk, Gem."

Gemala mengangguk. Ia mengambil jaket Raden dan berdiri. Jaket di tangannya ia berikan kembali pada pemiliknya. "Bilang apa?" tanya Raden.

Kening Gemala mengernyit? Ia harus mengatakan apa? Raden menghela napasnya. Penyakit Gemala kambuh. Ia kembali bicara dengan patung berjalan.

"Makasih ya, Kak Raden," ucap Raden sambil melirik Gemala sekilas dengan wajah malas.

Gemala tiba-tiba mengambil kembali jaket di tangan Raden dan memakainya. Raden tersentak. "Jaket gue wangi kan? Gak kayak jaket yang di lorong waktu itu, asem. Lagian jaket siapa sih yang lo ambil waktu itu?"

Gemala mendorong punggung Raden agar turun ke bawah. Rasanya obrolan mereka tidak akan selesai walaupun sampai pagi tiba.

Raden lebih dulu menuruni anak tangga, kemudian disusul dengan Gemala. Gemala diam-diam tersenyum tipis. Hari ini ia merasa jadi dirinya sendiri.

-gray-

Juan mengambil buku paket geografi yang terselip di antara buku paketnya yang lain. Saat ia menarik buku paket geografinya, sebuah surat terjatuh. Tangan Juan bergerak mengambil surat tersebut. Ia membolak-balikkan surat di tangannya. Surat apa ini?

Bagian penutup surat yang terekat lem sudah terbuka. Dengan perlahan Juan mulai mengeluarkan isi di dalamnya. Mulai dari secarik kertas hingga beberapa lembar kertas yang lebih keras, yaitu foto. Lebih dulu Juan membuka secarik kertas tersebut.

Hai Gemala
Gimana perasaannya habis liat foto yang ada di surat?

Juan terdiam. Ternyata ini adalah surat yang saat itu ingin ia kembalikan pada Gemala. Sudah terlanjur membaca isi surat yang harusnya ditujukan untuk Gemala, ia kemudian beralih mengambil foto. Napasnya tiba-tiba tersendat.

Juan bingung harus bersyukur atau kecewa dengan surat ini karena tidak jadi ia berikan kepada Gemala waktu itu.

___

22/12/20

Gray [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang