12. Jembatan

745 77 40
                                        

Keadaan Gemala belum pulih sepenuhnya. Dan sepertinya tidak akan pernah pulih. Gemala bahkan sudah tidak menginginkan hidupnya. Benar-benar hancur berantakan.

Setiap hari yang ada di ingatan Gemala hanyalah bayang-bayang kejadian menjijikan itu. Apa semua cowok senang melakukan hal seperti itu pada perempuan yang mereka anggap lemah tak berdaya? Tampaknya iya.

Gemala hanya mampu pasrah dengan tubuh yang sudah dijamah oleh orang yang tidak ia kenal. Tubuhnya bergetar mengasihani dirinya sendiri yang kenapa harus mengalami hal seperti ini?

Gemala terus merutuki dirinya. Kenapa ia tidak bisa melawan? Setidaknya berteriak minta tolong atau lari.

Tok! Tok! Tok!

Gemala panik. Apakah ayahnya sudah pulang? Buru-buru ia menghapus air matanya. Namun, bagaimana ia bisa berhadapan dengan Billy dengan kondisi seperti ini?

"Kamu udah tidur?"

Benar, suara Billy. Gemala bingung harus bagaimana. Apa ia harus keluar atau berpura-pura tidak tahu saja? Gemala mengoleskan concealer di kedua kantung matanya. Ia menatap sebentar dirinya di cermin. Apakah masih bisa dirinya bertahan hidup?

"Gemala."

Ceklek!

Billy menatap Gemala yang sedang duduk. "Ada teman kamu di luar," ucap Billy.

"Siapa, Yah?"

"Cowok."

Gemala mengernyit. Cowok? Teman? Ia tidak pernah merasa memiliki seorang teman. Gemala ikut Billy keluar. Ia mencoba untuk tidak menatap Billy dari dekat karena takut ayahnya melihat matanya yang bengkak.

Terlihat cowok dengan hoodie hitam tengah duduk di ruang tamu. Nampaknya Gemala tahu cowok itu siapa. "Kamu kalau mau keluar boleh kok, Nak, tapi jangan pulang kemalaman ya."

Gemala hanya mengangguk. Ia kemudian mendekat ke ruang tamu. "Juan?"

Orang yang merasa terpanggil tersebut menoleh. Gemala terkejut karena orang yang ia sangka Juan, ternyata adalah Raden. Apa yang membuat Raden datang ke rumah?

"Lo ngira gue Juan?" kekeh Raden, "ternyata kalian udah sedekat itu."

Gemala jadi gelagapan sendiri, tapi memang saat dilihat dari belakang, Juan dan Raden sangat mirip. Ia tengah menunggu apa yang akan Raden katakan. Sepertinya tidak mungkin Raden datang ke rumah tanpa alasan.

"Gue mau ngajak lo keluar. Lo mau?" tanya Raden.

"Ada yang mau gue omongin."

Ragu dan bimbang. Itulah yang dirasakan Gemala sekarang. Apakah ia harus ikut dengan Raden? Kenapa ia harus ragu? Raden bukan siapa-siapanya.

Dulu setiap ada orang yang tidak Gemala kenal mengajaknya mengobrol saja ia akan ketakutan, tapi kenapa semenjak mengenal lingkaran pertemanan Juan, ia jadi menimang-nimang tawaran seperti ini?

"Lo pikir gue mau nyulik lo? Setelah gue udah ketemu sama bokap lo tadi?" tanya Raden karena melihat Gemala yang tidak mengatakan apa pun.

"Gue serius mau ngobrolin sesuatu sama lo."

"Hm."

Suara deheman Gemala yang terdengar sangat pelan di telinga Raden. "Lo mau?"

Gemala mengangguk sambil menunduk. Raden kemudian mengambil kunci motornya di meja. "Yuk."

Gemala mengikuti Raden hingga keluar rumah. Raden naik ke motornya. Ia menatap Gemala yang berdiri di sampingnya. Baiklah, Raden mengulurkan tangannya ke arah Gemala. "Naik," suruhnya.

Dengan ragu Gemala menerima uluran tangan Raden dan satu tangannya memegang bahu Raden. Entah mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar dengan kencang.

"Udah?" Tidak ada jawaban. Raden menghela napasnya. Ia seperti bicara dengan patung berjalan.

Raden pun mulai menjalankan motornya dengan pelan. Jika ia langsung menarik gasnya dengan kencang, nanti Gemala malah terbang kan tidak lucu.

Tidak sampai perjalanan 10 menit, Raden sudah memberhentikan motornya. Gemala mengernyit. Sudah sampai? Gemala mengedarkan pandangannya.

Raden menyandarkan tubuhnya di motor sambil melipat kedua tangannya di depan dada, sedangkan Gemala berdiri di tepi jembatan. Malam yang indah, pikir Gemala.

"Lo nyayat tangan lo sendiri?" tanya Raden. Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti ini. Waktu itu saat memaksa Gemala pergi ke turnamen, ia tanpa sengaja menarik tangan kiri Gemala dan menampakkan sebuah sayatan.

Gemala menoleh. Ia tidak mengatakan apa pun seperti biasanya. Namun, kenapa Raden menanyakan itu? Apa itu yang ingin Raden bicarakan?

"Lo kalau punya masalah jangan dipendem sendiri. Seengaknya cerita sama bokap lo atau teman terdekat lo," ucap Raden. Ia khawatir Gemala bisa melakukan hal yang lebih dari sebuah sayatan.

"Gue gak punya temen."

"Oliv kakak lo. Kenapa gak cerita sama dia?"

Gemala meremas ujung bajunya. Matanya memerah dan berair. Raden perlahan mendekat. Ia menatap Gemala yang kembali diam.

"Gem," panggil Raden pelan.

"Gak tau apa alasan lo gak mau cerita sama Oliv, padahal dia kakak lo. Gue yakin Oliv bisa ngerti sama keadaan lo."

"Lo ngajak gue ke sini untuk maksa gue cerita sama orang lain tentang masalah gue?"

"Oliv bukan orang lain, dia saudara lo," jawab Raden.

"TERUS KALAU DIA SAUDARA GUE KENAPA? APA GUE KEMUDIAN HARUS CERITA TENTANG APA YANG GUE RASAIN? TENTANG HAL TERMALU DI HIDUP GUE? IYA?!"

Raden membeku. Kali pertama Gemala berbicara sepanjang itu. Namun, bentakan Gemala membuatnya merasa seperti ada luka yang Gemala coba tutupi.

Bibir Gemala bergetar. Ia terduduk dan menyandarkan tubuhnya di pembatas jembatan. Kesekian kalinya melihat Gemala menangis, tapi yang kali ini membuat hati Raden hancur. Kebaikan yang ingin ia coba berikan pada Gemala justru membuat gadis itu terluka.

"Sorry, Gem."

"Gak pernah ada satu pun orang yang ngerti gimana rasanya jadi gue. Yang orang tau, gue gila. Gue gak punya temen karena gue gila. Gue gak pernah ngomong karena gue bisu. Itu kan yang orang kayak lo pikirin?" Napas Gemala tersendat-sendat. Air mata terus mengalir dari pelupuk matanya.

"Apa gue mati aja?"

Gemala tiba-tiba berdiri. Ia melihat sungai di bawah sana yang mengalir dengan tenang. Yang ada di matanya, ada sebuah cahaya di bawah sana. Cahaya dengan sinar paling terang yang pernah ia lihat. Apakah sudah saatnya?

Gemala tersenyum tanpa sadar. Satu kakinya memijak besi pembatas. Raden tiba-tiba berucap, "Lo gak sayang diri lo?"

Gemala tidak bergeming. Ia tetap pada posisinya. Untuk apa menyayangi dirinya sendiri? Lagi pula ia hidup hanya menjadi beban. Bukankah lebih baik jika ia turun ke bawah dan masuk ke dalam cahaya besar itu?

Kaki kiri Gemala mulai ikut naik. Raden semakin was-was. "Lo gak sayang keluarga lo? Lo beneran mau turun ke sana dan ninggalin keluarga lo?"

Mendengar ucapan Raden, Gemala semakin gencar. Ia menaikkan lagi satu kakinya hingga sekarang tubuhnya sudah berada di tengah-tengah pembatas jembatan.

Raden langsung menarik pergelangan tangan Gemala dan membuat Gemala jatuh ke pelukannya. Napas Raden dan Gemala sama-sama tidak teratur. Bagaimana bisa Gemala melakukan hal senekat itu?

Gemala membulatkan matanya. Seluruh tubuhnya panas dingin. Tadi ia seperti tidak sadar dengan apa yang dirinya lakukan. Gemala meletakkan dahinya di bahu Raden sambil menangis. Hidupnya benar-benar putus asa.

Raden masih tidak percaya dengan aksi Gemala tadi. Ia tadi mengira Gemala tidak akan berani untuk loncat dari jembatan, makanya ia masih bersikap biasa saja. Namun, nyatanya Gemala sungguh-sungguh akan melompat jika tadi ia tidak menahan.

"Don't make me worry," bisik Raden.

___

20/12/20

Gray [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang