4 bulan berlalu.
Minggu ini adalah acara perpisahan sekolah. Tidak terasa kini Vania sudah kelas 12. Namun, itu artinya ia tidak satu sekolah lagi dengan Azka. Mungkin, hari ini hari terakhir mereka bertemu di sekolah. Tak mengapa, Vania ikut bahagia karena Azka lulus.
"Gimana, acara sudah bisa dimulai?" tanya Vania pada semua panitia pensi. Ya, Vania dipilih sebagai ketua panitia pensi kali ini.
"Sudah, semua sudah beres," ucap wakilnya.
Setelah itu, acara pensi pun di mulai. MC memulai acara sesuai dengan susunan acara. Dan, waktu yang Vania tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Yaitu Azka yang ingin membawakan sebuah lagu.
"Baiklah, sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Kepala Sekolah dan guru-guru yang telah membimbing saya," ucap Azka. "Lagu kali ini, saya ciptakan special untuk orang yang berarti buat saya. Vania Alfaiza Prasetya," lanjutnya.
Blush. Seketika pipi Vania memerah mendengar itu. Sungguh, untuk yang pertama kalinya Azka bicara panjang lebar di depan umum, apalagi itu saat mempersembahkan lagu ciptaan Azka untuknya. Vania mendapat sorakan dari yang lainnya karena hal itu begitu romantis bagi mereka.
"Hm." Azka mulai memetik gitarnya.
Awalnya ku tak percaya apa itu cinta
Namun hadirmu mengajarkanku
Betapa indahnya arti cinta
Membuat hidupku lebih berwarnaIzinkan aku untuk mencintaimu
Izinkan aku untuk menyayangimu
Dan izinkan aku untuk memilikimu
Menjadikanmu pasangan hidupkuReff :
Maafkan aku dan janganlah membenci
Aku akan berjanji untuk selalu ada di sisi
Sampai tiba saatnya aku benar-benar pergi
Pergi untuk selamanya dan takkan kembali(Lirik lagunya Fa ngarang mon maap:v)
Tanpa Vania sadari, air mata jatuh membasahi pipinya. Vania benar-benar menghayati setiap kata yang Azka nyanyikan. Lagu itu seakan menusuk hatinya.
Azka tersenyum kepada Vania setelah selesai menyanyikan lagu itu. Azka turun dari panggung, lalu menghampiri Vania yang berada di balik panggung. Namun, seketika keadaan menjadi riuh. Azka tiba-tiba saja pingsan tepat di hadapan Vania. Untung saja panitia laki-laki sempat menangkapnya. Vania panik, sungguh. Perasaannya dan pikirannya sudah tidak menentu.
Setelah menghubungi ambulan, Vania langsung menyerahkan tanggung jawabnya pada wakil ketua pensi. Vania ikut mengantar Azka ke rumah sakit. Tentunya diikuti dengan saudaranya dan teman-temannya.
Sesampainya di rumah sakit, Vania langsung menghubungi keluarga Azka. Untungnya Vania sudah sangat dekat dengan keluarga Azka. Tak lama setelah itu, kedua orang tua Azka pun datang.
"Azka kenapa, Vania?"
"Vania gak tau, Ma. Tiba-tiba aja Azka pingsan," ucap Vania yang masih menangis. Mama Azka menyuruh Vania untuk memanggilnya Mama.
"Kamu tenang ya, Azka pasti bakal baik-baik aja."
"Maaf, apakah ada keluarga pasien?" tanya seorang Dokter yang keluar dari ruang UGD.
"Iya Dok, saya orang tuanya. Ada apa ya, Dok," ucap Mama Azka.
"Bisa ikut ke ruangan saya. Ada yang ingin saya bicarakan."
Papa dan Mama Azka pun pergi ke ruangan Dokter tersebut. Sementara yang lainnya masih menunggu di depan ruang UGD.
"Udah Van, lo tenang," ucap Felisya menenangkan Vania.
"Gimana gue bisa tenang, Sya. Lo lihat kan tadi kak Azka mukanya pucat banget. Kalo dia kenapa-kenapa gimana?"
"Iya, gue ngerti perasaan lo. Sekarang, mending kita do'ain supaya kak Azka baik-baik aja," ucap Felisya yang mengajak Vania untuk duduk, karena dari tadi Vania sibuk mondar-mandir. Akhirnya Vania pun ikut duduk.
Setelah beberapa menit kemudian, orang tua Azka keluar dari ruangan Dokter tersebut. Tak lama setelah itu, tiba-tiba saja Azka dibawa keluar dari ruang UGD.
"Ma, Kak Azka mau dibawa ke mana?" tanya Vania dengan tangisnya yang semakin menjadi.
"Maaf ya Sayang, Mama baru bisa cerita sekarang. Sebenarnya, Azka terkena kanker. Sekarang, Azka mau dipindahkan ke rumah sakit luar negeri untuk pengobatannya."
"Kenapa Mama ataupun kak Azka gak pernah cerita sama Vania, Ma," ucap Vania yang bertambah histeris.
"Maafin Mama ya Sayang. Kamu do'ain Azka supaya pengobatannya berjalan lancar. Kamu baik-baik di sini. Nanti, kalo Azka berhasil sembuh, pasti kita balik lagi ke sini."
Vania memeluk Mama Azka ditengah tangisannya. "Mama janji sama Vania, kalo kak Azka bakalan sembuh," ucapnya.
"InsyaAllah. Mama pamit ya, Sayang. Kamu baik-baik di sini. Jangan lupa untuk selalu do'ain Azka," ucap Mama Azka lalu mencium kening Vania. Mama Azka sudah menganggap Vania seperti anaknya sendiri.
Vania pasrah, itu yang terbaik untuk Azka. Vania hanya berharap Azka bisa segera pulang dalam keadaan sehat. Vania benar-benar sudah mencintai Azka. Memang, cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Namun, baru beberapa bulan ia bisa sedekat itu dengan Azka dan keluarganya, tapi mengapa Azka malah meninggalkannya.
"Udah, mending sekarang lo pulang, tenangin diri lo," ucap Andra pada adik kesayangannya itu.
Vania pun akhirnya pulang di antar oleh Andri. Sementara Felisya meminta untuk ikut Andri, untuk menemani Vania sahabatnya itu. Felisya tau pasti Vania benar-benar sedih saat ini. Akhirnya Zain pun pulang sendiri. Sementara Andra memutuskan untuk mengantar Cia pulang terlebih dahulu.
•••
Di kamar Vania, Felisya terus menemaninya dan menenangkannya. Vania hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun.
"Van, kalo kak Azka tau lo sedih gini, dia juga bakalan ikut sedih. Lo kan tau, kak Azka gak suka lihat lo sedih," ucap Felisya. "Lo harus yakin, kalo kak Azka bakalan sembuh. Dia bakalan baik-baik aja."
Vania tak menggubris ucapan Felisya. Tiba-tiba saja Vania teringat akan lagu yang Azka persembahkan untuknya beberapa jam lalu. Mengapa lirik lagu itu seakan mengatakan bahwa Azka akan pergi meninggalkannya? Tidak, tidak mungkin Azka meninggalkannya.
Cairan bening itu lagi-lagi menerobos matanya. Vania belum siap jika Azka pergi meninggalkannya. Apalagi, jika itu untuk selamanya. Tidak, Vania tidak mau.
"Sya, kak Azka gak akan ninggalin gue, kan, Sya. Iya kan, Sya?"
"Enggak Van. Makanya lo jangan sedih, biar kak Azka semangat buat sembuh. Dia pasti ngerasain kalo lo sedih. Kak Azka kan orangnya peka," ucap Felisya berusaha menghibur sahabatnya itu.
"Tapi Sya, kalo--"
"Kalo kak Azka bakalan balik dan sembuh. Udah, lo gak usah mikir yang enggak-enggak, oke," ucap Felisya memotong ucapan Vania.
"Makasih ya Sya, lo selalu ada buat gue. Lo memang sahabat gue satu-satunya yang selalu ngertiin gue."
"Lo juga sahabat gue satu-satunya yang ngertiin gue."
"Lo harus janji, lo gak bakal ninggalin gue?"
"Janji. Kecuali, kalo Allah udah panggil gue," ucap Felisya sambil sedikit terkekeh. Memang benar, umur tidak ada yang tau.
"Ih ... Jangan gitu ngomongnya."
"Iya-iya. Udah, lo jangan sedih lagi. Senyum dong. Coba, mana senyum Vania yang termanis ngalahin garam?"
Vania terkekeh, "asin dong senyum gue," ucapnya dengan hidung yang memerah dan mata yang sembab sehabis menangis.
"Nah, gitu dong, ceria, gak nangis mulu."
Felisya tersenyum karena berhasil membuat sahabatnya bisa kembali tersenyum. Meskipun ia tau jika masih ada rasa sedih yang Vania rasakan. Namun, setidaknya Vania sudah berhenti menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivandra (Sequel Cuek? Bodo amat!!)
Proză scurtă[TAHAP REVISI] Mempunyai dua saudara kembar laki-laki, memang cukup menyebalkan. Namun, bagaikan dikawal oleh dua bodyguard. Kembar, namun berbeda. Bagaimana jadinya, jika tiga saudara kembar yang sama menyebalkannya, dipersatukan? Akankah tetap da...