Lembaran baru

140 31 10
                                    

Minggu pagi di sebuah rumah yang begitu besar, Felisya berusaha untuk meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Ditemani dengan Zain dan juga Ziya, Felisya meyakinkan diri untuk bertemu orang tua kandungnya.

Ziya menggenggam tangan Felisya, "kamu tenang aja, ada Kakak," ucap Ziya menenangkan Felisya yang sepertinya gugup. Felisya pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

Zain masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, diikuti oleh Ziya dan Felisya. Sebelumnya ia sudah menghubungi papanya untuk pulang ke rumah. Awalnya papanya menolak karena sedang ada meeting penting. Namun, ancaman Zain yang serius membuat papanya terpaksa membatalkan meeting tersebut. Setelah memasuki rumah, Zain langsung bertemu dengan Mamanya.

"Ngapain kamu ajak Kakak kamu ke sini," ucap Mamanya sambil melihat tak suka pada Ziya. Sejujurnya, jauh di lubuk hati yang paling dalam, ia sangat amat menyayangi Ziya. Hanya saja, ia masih enggan untuk baikan karena masalah yang pernah terjadi.

"Assalamu'alaikum," ucap Papa Zain yang baru saja sampai rumah.

"Wa'alaikumussalam," jawab semuanya.

"Duduk," ucap Zain datang menyuruh semuanya duduk.

"Ada apa sih Zain, kamu suruh papa pulang. Kamu juga, kenapa udah gak pernah pulang ke rumah?"

"Jangan ada yang bicara, sebelum Zain selesai bicara. Dan perlu kalian ketahui. Andaikan setelah penjelasan Zain nanti masalah di keluarga ini belum juga selesai, Zain tidak akan pernah kembali ke rumah ini lagi." Semuanya melihat ke arah Zain. Laki-laki itu sedang sangat serius kali ini. Keluarganya tau betul sifat Zain.

Felisya sebenarnya sedikit takut dengan situasi serius seperti ini. Bagaimana jika masalahnya jadi semakin rumit dan malah membuat hubungan Zain dan Mama Papanya semakin berantakan?

Akhirnya, Zain mulai menceritakan tentang semua kebenarannya. Mulai dari rekayasa almarhum papa angkat Felisya, hingga orang tua angkat Felisya meninggal. Bahkan, Zain menunjukkan surat-surat bahwa Felisya bukan anak kandung dari keluarga Sinagara. Surat-surat itu lengkap beserta akta kelahiran Felisya. Tanggal lahirnya sama persis seperti tanggal lahir anak mereka yang disangka telah meninggal dunia.

"Kamu jangan mengada-ada seperti Kakak kamu, Zain!" ucap Mamanya yang berusaha menahan cairan bening di matanya.

Sementara papa Zain, hanya diam sesaat. Setelah itu barulah ia membuka suara. "Boleh kamu kesini sebentar?" ucap Papa Zain. Felisya memberanikan diri untuk duduk di sebelah Papa kandungnya.

"Boleh saya lihat pergelangan tangan kamu yang sebelah kiri?" Felisya pun menganggukkan kepalanya.

Setelah melihat pergelangan tangan Felisya, tiba-tiba saja Felisya dipeluk oleh Papa kandungnya. "Jadi benar kalo kamu anak kandung saya," ucapnya dengan air mata yang terus mengalir setelah melepas pelukannya.

"Apa maksudnya?!" ucap Mamanya.

"Dia anak kandung kita. Saya ingat betul tanda lahirnya setelah kamu melahirkan. Sebelum dinyatakan meninggal, saya sempat melihat ada tanda lahir di pergelangan tangan kirinya. Setelah melahirkan, kamu pingsan, bahkan kamu belum sempat melihat wajah anak kamu waktu itu."

Mama Zain menggelengkan kepala tak percaya. Air matanya mengalir deras. Ternyata yang Ziya katakan selama ini benar adanya. Kesalahpahaman ini membuat keluarganya jadi berantakan. Namun ia bersyukur karena ternyata anak ketiganya masih hidup. Bagaimanapun marahnya seorang ibu, ia tetap menyayangi anaknya. Apalagi, itu semua hanyalah salah paham.

"Sini Sayang, sama Mama," ucap Mamanya masih dengan isakan tangis.

Felisya pun akhirnya ikut menangis. Bukan sedih, namun tangis kebahagiaan. Ia terus berterimakasih kepada Allah karena akhirnya ia bisa merasakan pelukan dari ibu kandungnya sendiri. Ia terus saja mengucap syukur dalam hatinya. Felisya masih tak menyangka jika Mama dan Papanya mau menerimanya dan percaya atas kejadian itu.

Rivandra (Sequel Cuek? Bodo amat!!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang