Setelah kepergian kedua orang tuanya, Felisya izin selama dua hari. Ia takut tidak fokus belajar karena masih memikirkan kedua orang tuanya. Berat baginya untuk kehilangan orang yang telah menjaga dan merawatnya selama belasan tahun dengan tulus. Kasih sayang mereka benar-benar tulus. Felisya merindukan hal itu.
"Mau sampai kapan, gini terus?" tanya Zain. Setiap ingin pergi dan setelah pulang sekolah, Zain selalu menemui adiknya itu. Zain menyuruh Ziya untuk menemani Felisya. Felisya pun bahagia karena bisa dekat dengan Ziya, kakak kandungnya yang baru ia kenal setelah ia pulang dari pemakaman orang tuanya.
"Feli harus gimana," ucapnya dengan pelan.
"Udah, kamu gak boleh sedih terus. Kakak tau kalo kamu sayang banget sama mereka. Tapi, kamu harus ingat, ada kita," ucap Ziya.
"Iya. Makasih ya, Kak. Karena, Kak Zain sama Kak Ziya udah sayang sama Feli. Feli janji, habis ini, Feli bakalan kuat dan balik ceria seperti dulu." Felisya tersenyum kepada Zain dan Ziya. "Feli bersyukur, Allah masih pertemukan Feli sama keluarga Feli yang sebenarnya. Feli juga gak akan pernah lupain mama sama papa angkat Feli yang udah jaga dan rawat Feli selama ini." Ziya dan Zain tersenyum mendengar penuturan Felisya.
"Ya udah, Zain pamit dulu, mau keluar sebentar."
"Ngapain kamu?" tanya Ziya.
"Nongkrong. Udah lama gak nongkrong."
"Udah bagus kamu gak nongkrong gak jelas lagi, gak bolos lagi. Kenapa sekarang jadi mau nongkrong lagi?"
"Nyantai sebentar lah, Kak."
"Enggak."
"Gue gak akan pulang malam."
"Dengerin kata Kak Ziya aja kenapa, sih, Kak? Gak usah ngebantah, gitu. Kak Ziya gitu juga demi kebaikan Kakak. Feli juga senang lihat Kak Zain yang sekarang. Udah gak pernah lagi bikin masalah di sekolah," ucap Felisya. Zain sudah tak bisa membantah kedua wanita yang ada dihadapannya saat ini.
"Ya udah, terus, gue ngapain?" tanya Zain.
"Terserah," jawab Feli.
"Wanita, oh ... Wanita. Bisa gak kalo jawab tuh gak usah terserah. Yang pasti gitu jawabnya. Nongkrong gak boleh, tapi ditanyain malah jawab terserah."
"Ya, maksudnya terserah mau ngapain, asal gak usah nongkrong. Kak Zain aja yang ribet, gak ada inisiatif."
"Inisiatif apaan, coba?"
"Ya, nge-game gitu bareng Feli, atau apa gitu biar gak bosan.
"Lo, suka nge-game?"
"Oh ... Jangan salah, jago malahan."
"Game apaan tuh?"
"Cacing," ucap Felisya sambil nyengir.
Ingin sekali rasanya Zain menghujat adiknya itu. Tidak, itu tidak mungkin. Emosi Zain memang sedang memuncak, tapi ia tidak suka kasar pada orang yang berarti baginya.
Ziya hanya tersenyum saat melihat Zain emosi. Setidaknya Felisya bisa kembali ceria dan tidak murung lagi, meskipun dengan cara membuat Zain emosi. "Kenapa diam, Zain?" tanya Ziya sambil terkekeh.
"Oh, enggak, gapapa," jawab Zain dengan senyum yang dipaksakan. "Gue gerah, mau mandi." Setelah mengatakan itu, Zain berlalu pergi.
Sore harinya, Felisya sedang duduk di atas kasurnya sambil memainkan ponselnya. Sangking fokusnya ia pada ponselnya, Felisya tidak sadar jika ada orang yang masuk kamarnya begitu saja. Orang tersebut tiba-tiba mengambil ponsel Felisya. Hal itu tentu saja membuat Felisya terlonjak kaget dan menatap tajam ke arah orang tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivandra (Sequel Cuek? Bodo amat!!)
Short Story[TAHAP REVISI] Mempunyai dua saudara kembar laki-laki, memang cukup menyebalkan. Namun, bagaikan dikawal oleh dua bodyguard. Kembar, namun berbeda. Bagaimana jadinya, jika tiga saudara kembar yang sama menyebalkannya, dipersatukan? Akankah tetap da...