My posesif brother

340 41 2
                                    

Karena, bagaimanapun permasalahannya, mengendalikan ego adalah hal utama. Masalah tidak akan selesai, jika ego yang diutamakan.

~Andra Alfarizi P
______________________________________________

Sepulang sekolah, Vania bersyukur karena tak ada pertanyaan dari Andri dan Andra. Namun, ada yang berbeda dengan Andra kali ini.

Sesampainya di rumah, Andra keluar mobil begitu saja. Vania hanya melihatnya dengan tatapan heran. Saudaranya yang satu itu terlalu mudah berubah. Akhir-akhir ini Andra lebih sering terbawa emosi. Ia yakin, bahwa Andra sedang ada masalah.

"Masalah dia, sama lo," ucap Andri yang seakan mengerti apa yang ada di pikiran Vania.

"Gue?"

"Dia masih gak terima kalo lo pacaran."

"Loh, kok?"

"Sebelum Azka nembak lo, dia udah izin sama gue. Ya ... Menurut gue, gak segala hal mesti gue atau Andra yang atur lo. Lo juga punya hak untuk nentuin pilihan lo sendiri. Cuma, Andra masih belum bisa terima aja," jelas Andri. "Kalo pun gue gak izinin, gue gak yakin, lo bisa nolak dia," lanjutnya.

Nembak? Apakah Azka ada nembak dirinya? Sepertinya tidak. Setahunya, Azka memberikannya pilihan yang tak ada bedanya. Apapun yang ia pilih, tetap saja ia akan jadi pacarnya Azka. Lebih tepatnya itu seperti sebuah paksaan, bukan pilihan.

"Terus, kak Andra, marah sama gue? Dan, kenapa Kakak tau, kalo Vania gak bisa nolak maunya kak Azka?" tanya Vania.

"Enggak, paling ngambek doang. Soal kenapa gue bisa tau, karena gue tau siapa Azka."

Andra memang benar-benar seperti bocah jika sesuatu tidak berjalan seperti apa yang ia mau. Vania tidak mau bertanya lebih jauh tentang Azka pada Andri, itu juga tidak begitu penting. Setelah itu, Vania memasuki rumah bersama Andri.

Di satu sisi, Felisya baru saja sampai di rumahnya. Namun, kali ini berbeda. Ia pulang bersama Zain, bukan papa atau sopir pribadinya. Kebetulan hari ini tidak ada yang bisa menjemputnya. Untungnya Zain menawarkannya tumpangan. Meskipun awalnya ia sempat menolak. Tetapi Zain tetap Zain, sulit untuk menolak atau membantah apa yang ia katakan.

"Makasih, ya, udah anterin gue," ucap Felisya setelah turun dari motor Zain.

"Iya sayang."

"Sayang, ndasmu! Emang gue pacar lo."

Zain tidak menjawab kekesalan Felisya. Ia hanya sedikit tertawa menanggapinya. "Gue pulang dulu," ucapnya.

"Eh, tunggu dulu," cegah Felisya. "Gue mau nanya," lanjutnya.

"Apa tuh?"

"Lo, sebenarnya suka sama Vania, kan? Terus, kenapa lo dekatnya sama gue? Oh ... Atau jangan-jangan, lo jadiin gue sebagai alat buat lebih mudah dekat dengan Vania?!"

"Ck, jahat banget kalo gue lakuin itu. Mungkin, untuk sekarang, gue gak bisa kasih tau lo. Tapi nanti."

"Tau ah, bingung gue. Saran gue, nih, secepatnya lo kasih tau. Jujur, gue gak mau kedekatan kita malah bikin gue timbul rasa. Gue ngomong gini, bukannya mau jatuhin harga diri gue. Tapi, lo tau lah, cewek itu anti banget dibikin nyaman."

"Iya, lo tenang aja. Secepatnya gue bakal kasih tau lo," ucap Zain sambil mengacak rambut Felisya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan dirinya.

"Zain! Kusut nih," gerutu Felisya yang lagi-lagi membuat Zain tertawa. Baginya lucu melihat ekspresi kesal gadis itu.

"Udah ah, gue mau pulang," ucap Zain setelah puas membuat wajah Felisya memerah karena kesal padanya.

"Ya udah, sana."

Rivandra (Sequel Cuek? Bodo amat!!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang