(26) Magic Magic

8 6 0
                                    

By: Firli

**


Sore ini, udara sejuk sehabis hujan membuat suasana menjadi dingin. Di sini sunyi dan sepi, aku di rumah sendiri karena keluargaku sedang berada di luar kota yang akan aku susul esok hari. Dengan cepat aku menutup jendela karena hari mulai gelap dan cuaca semakin dingin.

Malam ini aku menata perlengkapan yang akan kubawa besok ke luar kota. Setelah itu, aku pun tidur lebih awal karena takut terlambat untuk keberangkatan besok.

Pagi ini, aku bergegas pergi menuju stasiun. Perlu lima belas menit untuk perjalanan menuju stasiun.

Setelah sampai di stasiun, aku bergegas menuju ke peron. Tidak lama kemudian, kereta tujuanku pun datang. Ini terlalu cepat dari waktu keberangkatan. Mungkin memang dipercepat.

Kemudian aku pun masuk mencari tempat dudukku. Aku terpaku pada desain klasik kereta ini. Tidak seperti kereta biasanya. Mungkin ini desain baru. Setelah aku duduk, aku memandang ke luar dari jendela kereta.

Tak lama, kereta pun berjalan perlahan sampai ke luar dari stasiun. Hanya pohon-pohon yang menjadi pemandanganku saat ini. Mataku sepertinya mengantuk, dan perlahan-lahan mataku pun terpejam.

Hawa dingin dan sejuk mulai menerpa wajahku, seingatku jendela kereta ini tertutup.

Mataku perlahan terbuka. Masih pemandangan hijau pohon yang tertangkap mataku, namun ada yang aneh. Gumpalan putih mengiringi jalannya kereta ini.

“Awan?” kejutku.

Dengan segera aku melongok ke luar jendela yang entah sejak kapan terbuka.

“Waww! Luar biasa!” pekikku, “kenapa bisa di sini?”

Aku melihat sekeliling, _tidak ada orang?_

Aku berjalan menyusuri gerbong lainnya, ada seseorang di sana.

“Ehm, permisi?”
Dia menoleh ke arahku, kemudian menaikkan alisnya bertanya.

“Apa kau tahu ini di mana?” tanyaku.

“Maksudmu?” tanyanya bingung.

“Maksudku, ini kereta tujuan ke mana?” tanyaku.

“Oh, ini menuju Lorrias Endel.”
Aku terpaku bingung, _tempat apa itu?_

“Tempat apa itu?” tanyaku.

“Apa maksudmu?”

“Eh, ti-tidak ada.”

Lalu aku pun duduk di tempat dudukku tadi. Memikirkan apa yang sedang terjadi saat ini. Aku pun melongokkan lagi kepalaku ke luar jendela. Indah, tak pernah kutemui pemandangan seindah ini sebelumnya.

Wuusss

Aku terkejut karena ada sayap burung yang hampir mengenai wajahku. Purung putih dengan wujud seperti elang berukuran besar.

“Ah, burung apa itu?” gumamku.

Kemudian kereta ini seperti memasuki tengah hutan dengan pepohonan yang lebih lebat dan kabut putih yang tipis, cahayanya pun minim. Di sini cenderung menyeramkan.

Suasana mencekam dan suram tertangkap jelas olehku.
Tak lama, kereta ini mulai melambat, sepertinya akan berhenti. Benar saja, tak lama kemudian kereta ini berhenti. Kulihat stasiun ini sangat cantik dengan gaya klasiknya.

Saat langkah pertama, seketika semuanya berubah. Tidak ada stasiun, tidak ada kereta, hanya padang rumput yang luas dan cantik.

Kemudian aku berjalan menyusuri padang rumput ini, sampai terlihat di hadapanku ada pepohonan dengan banyak salju di sekelilingnya. _Apa ini?_

“Salju?” gumamku.

Kemudian, aku pun berlari ke arah sana dan mulai memasuki kawasan pepohonan bersalju ini. Untung aku memakai jaket, kadi tidak terlalu kedinginan. Aku menyusuri tempat ini hingga terdengar suara deras air dan mencarinya.

“Air terjun? Kenapa tidak membeku?”

Sett

Aku tersentak oleh bayangan hitam yang sepertinya lewat dengan cepat di belakangku. Aku mencoba mencari di mana bayangan itu berada. Namun, tidak ada apa-apa.

Srek.. srek..

Suara seretan langkah kaki terdengar di belakangku. Kemudian tanpa melihat ke arahnya, aku yang sudah ketakutan pun berlari dan terus berlari tanpa tau arah.

Sampai ekor mataku menangkap sebuah tangan panjang dan kurus hampir menyentuh pundakku, aku malah jatuh tersungkur dengan memejamkan mata. Kemudian, suasana seketika menjadi hening untuk beberapa detik.

Samar-samar suara keramaian orang tertangkap indera pendengaranku. Aku membuka mata, seketika aku sadar bahwa aku sedang dalam posisi menelungkup.

_Apakah tadi aku bermimpi?_

Aku mengerjapkan mata, tidak, mataku segar, tidak seperti orang habis tertidur maupun mengantuk.

Memandang sekeliling, ternyata aku masih berada di dalam gerbong kereta. Bukan kereta klasik, namun kereta biasa yang biasanya kupakai.

Melihat jaketku, aku menemukan segumpal salju menempel di sana.

“Yang benar saja,” gumamku tak percaya.


End

Fant's AntologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang