Dua Puluh Lima

9 6 0
                                    

"Siapa yang salah sama gue? Kan gue gak salah, masa gue minta maaf? Minta maaf karena sombong? Gue sombong ke semua orang. Ah ... kok ini rasanya merendahkan harga diri gue banget." Lula berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia sudah yakin akan mengambil keputusan untuk memulai menjadi pribadi yang baik dan dicintai semua orang dengan cara meminta maaf. Namun, rasanya hati ini terlalu gengsi untuk mengucap kata maaf.

"Apa nanya mama ya? Duh, susah banget sih mau jadi orang baik. Giliran niat aja, malah kayak gini jadinya." Lula keluar dari kamar dan menuju dapur tempat mamanya berada.

Ema yang sedang membuat kue merasa kaget dengan kemunculan Lula di dapur. Pasalnya, anak semata wayangnya itu sangat jarang ke dapur, apalagi saat Ema membuat kue karena Lula pun akan menolak jika dimintai bantuan oleh Ema.

"Anak Mama, kenapa kesini, Nak?" Pertanyaan langsung terlontar dari mulut Ema melihat anaknya yang datang ke dapur dan langsung bersandar pada meja dapur.

"Mah, Lula kan pengen nyoba jadi baik, tapi Lula bingung mau mulai dari mana." Lula menjelaskan sembari menghela napas pelan.

"Sayang, niat kamu udah baik, tapi gak ada namanya nyoba jadi baik. Baik itu gak bisa dicoba dan gak bisa kamu omong doang. Semuanya itu harus berasal dari sini, Nak." Ema berucap sembari membawa tangannya menyentuh dada Lula sebelah kanan, tempat hatinya berada.

Lula ikut merasakan dada kanannya dan merasakan detak jantungnya. Detak itu sangat normal dan stabil, tidak seperti pikiran Lula yang kacau. Lula menghela napas lagi sebelum berkata, "Iya, Mah."

***

"Pagi, Non." Sapaan serta senyuman pagi dari Afnan mampu membuat hari Lula terasa cerah setelah kemarin ia bergelut dengan pikirannya. Namun, Lula tidak membalas senyuman apalagi sapaan dari Afnan.

"Sarapan dulu, La," ucap Ema melihat anaknya melewati meja makan. Lula menoleh dan menggeleng pada mamanya.

"Gak usah, Ma. Lula lagi pengen makan bubur di depan," jawab Lula. Selama ini, jika ia ingin sarapan bubur yang ada di depan rumah, ia akan menyuruh supir atau siapa pun yang ada di rumah itu untuk membelikannya. Namun, kali ini berbeda. Ema dan Jordan yang bingung hanya mengangguk mengiyakan permintaan anaknya.

"Saya temenin ya, Non." Afnan mencoba untuk mendekati Lula yang selama beberapa hari ini menghindarinya dan Zanna.

"Gak usah. Nanti jemput aja," jawab Lula disertai gelengan pelan. Afnan tidak membantah dan melanjutkan sarapannya dengan Ema dan Jordan.

***

Tak berapa lama setelah Lula membayar semangkuk bubur ayam yang dimakannya, Afnan muncul dengan mobil untuk menjemput Lula. Lula mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam mobil. Tidak seperti biasanya, kali ini, Lula duduk di belakang dan membiarkan Afnan menyetir sendiri di depan.

Menghindari berbicara dengan Afnan, Lula meraih sebuah novel yang cukup tebal. Ia membuka halaman pertama novel itu dan mulai membacanya. Biasanya, Lula yang bersifat periang dan cukup cerewet mampu mencairkan suasana di mobil. Namun, kali ini berbeda. Lula mengubah suasana mobil menjadi dingin dan sunyi.

"Non, kenapa Non menghindari saya dan Zanna?" Pertanyaan Afnan tidak dijawab Lula karena Lula sedang asyik membaca novel sembari mendengar lagu dari airpod yang menempel di telinganya. Afnan yang tidak tahu Lula sedang mendengar musik mengira bahwa Lula sengaja tidak menjawab pertanyaan darinya. Afnan hanya bisa menghela napas pasrah.

"Non, udah sampe." Saking asyiknya membaca novel sembari mendengar musik, Lula tidak sadar bahwa mobilnya sudah terparkir dengan cantik di parkiran sekolah.

"Non, mau turun gak?" Pertanyaan dari Afnan lagi-lagi tidak dijawab Lula. Afnan menghela napas bingung. Ia turun duluan dan membukakan pintu bagi Lula. Namun, lagi-lagi Lula yang sedang terlarut dalam novelnya tidak bergeming dari mobil.

Heart's Eclipse [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang