Dua Puluh Tujuh

6 4 0
                                    

"Maaf, Nan. Gue enggak mau nyakitin siapapun di sini, termasuk lo sama Zanna. Gue enggak mau gosip enggak benar tersebar karena gua pacaran sama lo. Di sisi lain, Zanna cinta sama lo. Lo bisa sama dia, dia lebih baik daripada gue. Semua orang pun tahu itu. Jadi, maaf," jawab Lula dengan penuh keyakinan. Gadis itu segera beranjak dari duduknya sembari keluar dari ruangan ini. Ia ingin Afnan memikirkan apa yang ia ungkapkan, supaya pikiran Afnan lebih terbuka.

'Sorry, Nan. Gue enggak bermaksud, tapi gue enggak mau gue dianggap rendahan karena suka sama orang yang notabenenya adalah sopir pribadi gue sendiri.' Batin Lula yang tengah berdiri sambil menitikkan air mata di depan pintu ruangan Afnan yang baru saja ia tutup.

***

Tahu kan rasanya ketabrak truk terus kebanting kemudian dihujani pisau tajam? Kira-kira seperti itulah yang dirasakan Afnan saat ini. Tidak hanya luka fisik yang ia rasakan, tapi juga luka batin.

Setelah kepergian Lula dengan penolakannya. Afnan tidak lagi bisa berpikir jernih. Intinya yang ia rasakan saat ini hanyalah kesakitan luar biasa. Takdir begitu mempermainkannya dengan memberikan hidup serta realita yang sudah terlalu menamparnya, mengapa takdir lagi-lagi memberi kesakitan berkedok cinta? Apakah Afnan ini taman bermain bagi takdir?

Setiap kali merasa sakit, Afnan selalu bersyukur ia masih diberikan kehidupan, tapi mengapa semakin lama. Semakin itu pula takdir melunjak. Afnan sudah cukup sabar dengan keadaannya, tapi tidak dengan urusan hatinya.

Napas Afnan begitu sesak menyekat hela menerima semua penderitaannya kali ini. Biarkan saja mereka mengatakan Afnan terlalu lebay karena menganggap dirinya paling tersakiti. Bukankah memang begini respon seseorang yang sudah dibutakan oleh cinta?

Yang ada dalam dirinya saat ini adalah ketakutan, ketakutan akan kehilangan sosok yang ia cintai itu.

Mengapa Lula memilih pergi dengan beralasan kasihan pada Zanna? Bukankah sebelumnya mereka telah memperbincangkan mengenai topik ini, Zanna juga sudah memaafkannya. Apalagi yang Lula inginkan? Afnan betul-betul frustrasi sampai takut mengartikan apakah dirinya betul-betul mencintai atau hanya sekedar obsesi?

Mungkin tanpa Afnan sadari. Bukan ketakutannya yang membuat dirinya sampai sehancur itu, melainkan karena tanggung jawab yang harus dipikulnya saat dirinya benar-benar memilih berlabuh pada Lula. Bukankah semuanya memiliki resiko yang mau tidak mau harus Afnan terima?

Selemah inikah dirinya? Selemah inikah hatinya? Selemah inikah sosok Afnan yang sudah menerima hidupnya, tapi tidak bisa menerima cintanya pergi?

Tanpa Afnan sadari, yang ia rasakan kali ini persis dengan yang Zanna rasakan waktu itu.

Setetes, dua tetes, sampai terus turun. Air mata Afnan mengalir deras. Entahlah, ia rapuh tentang cinta. Ia lemah dikendalikan oleh perasaannya sendiri. Ia sangat mencintai Lula. Afnan terlalu sakit bukan tanpa alasan, melainkan ia tahu. Sangat tahu bahwa sebenarnya Lula juga mencintai dirinya. Dari gerak-gerik Lula melontarkan alasannya itu sudah membuat Afnan mengerti, ada yang Lula usahakan untuk membuat Afnan membacakan arti tersirat itu, tapi apa?

"Apa gue nggak pantes?" tanyanya pada dirinya sendiri. Pengecut sekali dirinya yang menangis hanya karena ditolak, tapi Afnan sudah ditolak beberapa kali. Bukankah wajar untuk menangis?

Sosok gadis yang sedari tadi berdiri di pintu menatap iba pada Afnan. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia daoat mengerti bahwa Afnan sangat terpukul dengan kejadian yang terjadi. Sedari tadi, gadis ini sudah mengetuk pintu sembari memanggil nama Afnan. Namun, tak sedikitpun Afnan mendengar hal itu.

Gadis itu berjalan perlahan ke arah brankar Afnan.

"Nan?" panggilnya sekali lagi yang masih tidak didengar oleh Afnan.

Heart's Eclipse [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang