Afnan menatap wajah Lula dari samping, gadis itu terlihat cantik saat tak banyak bicara. Terlihat lebih anggun dari sebelumnya, Afnan merasa tak salah memilih gadis seperti Lula sebagai tambatan hatinya.
"Non, saya masuk dulu. Zanna kayaknya sudah bangun," pamit Afnan sembari pergi meninggalkan Lula yang menoleh ke arahnya secara spontan.
Gadis itu berdecak, "Kenapa gue bawaannya marah-marah mulu, sih."
***
Sejenak Lula berpikir apa ini defenisi cemburu yang sebenarnya? Apa disaat emosinya tidak terkontrol akibat melihat Afnan bersama Zanna, atau saat ia melihat dengan jelas bahwa Afnan menciptakan rona di pipi gadis lain setelah rona di pipi Lula? Entahlah, ia tidak terlalu mengerti perihal cemburu. Yang ia tahu, sekarang ini ada sesak menyekat hela pada napasnya saat Afnan memberi perhatian lebih pada Zanna.
Lula lagi-lagi mendongak ke atas langit, memperhatikan ribuan bintang yang bersinar secara bersamaan menghiasi gelapnya malam. Apa Lula dan Zanna hanya diibaratkan bintang oleh Afnan yang berperan sebagai langit malam? Atau malah hanya Zanna lah yang dijadikan sebagai bintang penghias itu? Benarkah? Lalu apa peran Lula?
Gadis itu terus saja berpikir, akhir-akhir ini ia terlalu sering mengajak hati dan pikiran untuk membantunya memecahkan teka-teki perasaannya. Hanya saja, ia terlalu gengsi untuk sekedar membenarkan pernyataan bahwa ia kagum pada sosok yang pada pandangan pertamanya tidak menarik dalam berpenampilan.
Lula menikmati keadaan saat ini, sampai saat ponselnya berdering, pikirannya pun bagai gas yang dilepaskan di tempat terbuka. Kemana-mana.
Ia meraih ponselnya, kemudian mengarahkan ke telinganya. "Halo?"
"Halo Lula. Kamu dimana, Nak?" tanya wanita paruh baya di seberang sana. dapat dipastikan sekali bahwa wanita itu sangat khawatir. Terdengar dari suaranya yang tegang.
"Di rumah sakit, Ma."
"Mama nggak usah khawatir, anak cantikmu ini nggak papa kok, Ma. Tinggal nunggu Zanna baik dulu," lanjut Lula menenangkan Ema.
"Kamu udah dari kemarin loh nggak pulang, gimana mama nggak khawatir," cakap Ema.
Lula tersenyum mendengarnya. "Maafin yah, Mamaku sayang."
"Hmm, kamu dimana, Nak. Kenapa rame banget?"
"Oh ini Lula lagi di teras rumah sakit," jawab Lula enteng.
"Heh! Masuk sekarang. Kamu mau sakit juga apa?" perintah Ema. Tidak tahu kah Lula bahwa angin malam itu tidak baik?
"Iya Ma, iya. Ini Lula juga mau masuk kok. Udah yah Mama, dadah," ujar Lula sembari mematikan sambungannya dengan Ema.
Ia merenung lagi kemudian. Di otaknya sudah ada cara untuk membut tubuhnya tidak lagi merespon berlebihan kegiatan Afnan dan Zanna.
Lula berjalan menuju kamar Zanna. Berniat kembali tidur untuk menjalankan misi esok hari, tetapi yang ia dapatkan justru pemandangan indah bagi orang-orang. Bagi Lula tidak.
Di sana, di brangkar Zanna. Afnan menyandarkan kepalanya pada lipatan tangannya, sembari memegang satu tangan Zanna.
Lula menggerutu kesal dibuatnya, ia berjalan ke arah sofa kemudian membaringkan dirinya lagi. Melanjutkan tidurnya yang tadi terpotong.
***
"Non, non Lula bangun."
Gadis cantik yang tidurnya diusik itu melenguh merasa belum cukup dengan tidurnya.
"5 menit lagi deh, yang."
Afnan tersentak mendengarnya, ia hampir saja menyemburkan tawanya melihat ekspresi Lula yang biasa saja saat mengucapkan itu. Nampaknya Lula mengira Afnan adalah kekasih di mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart's Eclipse [TAMAT]
Teen FictionSetiap orang punya sisi gelap dan sisi terang dalam dirinya, maukah kau menerangi sisi gelapku? *** Aku di atas segalanya, itulah prinsip seorang Alula Zhima Naharila. Ia yang memiliki banyak harta, sombong, dan egois seakan tertampar kenyataan saat...