Dua Puluh Enam

10 4 0
                                    

Derai air mata terus saja turun membasahi pipi Lula yang tengah duduk sambil menggenggam jemari Afnan. Ia tengah berada di ambulans saat ini, bersama dengan Afnan yang masih belum sadarkan diri setelah kecelakaan yang cukup parah tadi. Pemuda tampan yang biasanya selalu tampil bersih itu, kini menjadi kotor dan berlumuran darah. Lula benci darah, tapi rasa sayangnya pada seorang Afnan melebihi rasa bencinya itu.

Mulut Lula terus saja berkomat-kamit merapal doa untuk keselamatan sopir pribadinya itu. Namun batinnya berkata lain, hati dan pikirannya lebih banyak mengumpati ambulans yang berjalan lambat.

"Pak, tolong cepat dong! Nyawa teman saya taruhannya," ujar Lula sedikit berteriak agar terdengar di telinga sopir ambulans.

Gadis itu mengalihkan fokusnya pada ukiran wajah Afnan yang sangat indah ini. Afnan terlihat tampan saat tertidur pulas seperti ini, ia menyukainya. Tapi sebuah alasan membuatnya bingung antara hati dan prioritas.

***

Beberapa orang berpakaian serba putih dengan balutan jas hijau toska yang sedikit tembus pandang itu berlarian mendorong sebuah ranjang yang di atasnya ada seorang pemuda yang tak sadarkan diri. Darah berlumuran di wajah serta bajunya. Para petugas medis itu segera membawanya ke ruang Unit Gawat Darurat alias UGD.

Dokter menghalangi jalan seorang perempuan yang memaksa ingin masuk ke ruang UGD itu.

"Maaf, Mbak. Selain petugas medis, dilarang untuk masuk," ucapnya sedikit mendorong Lula untuk mundur.

Lula berdecap sebal, "Saya ingin menemani teman saya, Dok. Apa salahnya?"

"Semakin cepat pertolongan pada korban diberikan, maka semakin cepat pula korban bangun dan sembuh dari masa kritisnya."

Lula berdecap sebal. Ingin sekali ia memberontak masuk dan menemani Afnan yang tengah berbaring tak berdaya di dalam sana. Tapi mendengar ucapan dokter membuatnya mengalah dan memilih untuk duduk di kursi tunggu.

Cklek.

Pintu ditutup. Kini tinggal Lula sendiri, menunggu dan terus berdoa pada Sang Kuasa. Meminta keselamatan seorang sopir, teman dan seseorang yang mungkin sudah ia cintai, hanya saja ia belum begitu sadar. Mulutnya sedari tadi terus saja merapal doa, tak henti-hentinya mulut itu berkomat-kamit.

Namun sekarang, sebuah pemikiran yang menurutnya sangat tidak mungkin ini muncul dalam pikirannya.

"Apa gua cinta sama Afnan? Enggak mungkin 'kan?" tanyanya pada angin lalu. "Gue sama Afnan itu beda. Gue dari kalangan atas dan dia dari kalangan bawah, enggak mungkin bisa bersatu. Di sisi lain juga, Zanna katanya cinta sama Afnan. Mereka cocok, tapi kenapa gua cemburu? Gue bingung," lirih Lula.

Dengan perasaan yang mengganjal, ia memutuskan untuk bangkit dari duduknya, mencari angin segar di sekitar ruang UGD ini. Apa ini yang dianggap dengan cinta tak memandang status maupun harta? Entahlah, ia sendiri juga bingung dengan perasaannya pada Afnan yang ia rasakan sejak dulu saat Afnan datang dan menjadi sopir pribadinya. Mungkin dulu ia masih belum terlalu sadar dan menganggapnya hanya sebuah kekaguman semata, sehingga membuat rasa itu semakin besar dan tak bisa dilupakan. Sungguh, ia seperti orang bodoh yang terpuruk dalam keadaan darurat, bingung untuk memilih dan mencari jalan keluarnya.

Hati atau harta.

Semua orang akan menganggap seleranya itu rendah jika seorang Lula yang notabenenya adalah anak orang kaya, mencintai sopir pribadinya sendiri. Namun jika ia lebih memilih popularitas, ia akan dibilang egois dan hatinya akan semakin terluka karena ulahnya sendiri. Memang benar faktanya bahwa Tuhan selalu menciptakan takdir yang membuat makhluk-Nya terombang-ambing seperti di lautan.

Heart's Eclipse [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang