1

2.2K 126 15
                                    

Suara kicauan burung terdengar merdu di telinga Tiara.
Pagi yang sangat indah menurutnya, menghirup udara segar di balkon adalah kesukaan nya sejak dulu.

"Pagi sayang"

Tiara tersenyum saat merasakan tangan kekar melingkar di perutnya.
Rutinitas pagi yang selalu diberikan oleh suami yang sudah satu tahun menikah dengan nya.

"kamu bahagia?" kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Tiara.

Anrez merenggangkan pelukan nya, ia memutar badan Tiara untuk melihat kearahnya.

"Setiap hari kamu bertanya hal yang sama"

Tiara tersenyum, ia menepuk pelan pipi suaminya itu.

"Aku mau siapin sarapan untuk kamu"

Tiara berjalan meninggalkan Anrez yang masih menatap heran kearahnya.

***

"Anaknya Mahalini dan Nuca lucu ya" ucap Tiara.
Anrez yang tengah mengunyah sarapan nya sedikit terdiam, ia mengamati raut wajah istrinya.

"orang tua mereka pasti seneng dapat cucu pertama" kali ini Tiara terlihat murung, Anrez sangat mengerti perasaan istrinya, sudah setahun mereka menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak.

"Sayang.."

"Aku cuma kepikiran kata-kata mama yang selalu pengen nimang cucu"

"Kita kan udah usaha, kalau belum dapat juga ya usahanya harus lebih sering lagi" Anrez tersenyum jahil pada Tiara yang langsung mencubit pipinya.

"itu sih mau nya kamu"

"Aw sakit sayang"

"udah ah, kamu habiskan dulu sarapan nya, aku mau siap-siap" ucap Tiara yang langsung beranjak dari duduk nya.

"loh mau kemana?"

"ke kantor Ziva"

"kamu lebih milih ke kantor Ziva dari pada nemenin aku di kantor" Anrez sedikit berteriak karena Tiara sudah masuk kedalam kamarnya.

"Ga mau, ga mau ketemu Shani" teriak Tiara. Anrez hanya terkekeh pelan karena Tiara masih saja cemburu pada sekertarisnya.

****

"Halo ibu Ziva"

Ziva yang melihat Tiara di depan pintu langsung tersenyum senang dan beranjak dari duduknya.

"Titi gue kangen" ucap Ziva sambil memeluk sahabatnya itu.

"Apaan sih lo dua hari yang lalu kita masih ketemu"

"temenin gue, gue mumet ngurusin pernikahan"

Ziva menunjukan wajah lelahnya tapi di mata Tiara Ziva tetap sangat menggemaskan.

"Namanya mau buat acara Ziv, pasti cape tapi nanti terbayar ko"

Ziva menyandarkan tubuhnya di sofa dan mengangguk walaupun wajahnya masih terlihat cemberut.

"gimana buku kedua lo?" tanya Ziva.

"belum dapat ide buat di lanjut"

"Tumben, biasanya otak lo lancar banget buat mikir"

Tiara menghela nafas lelah nya, saat ini ia pun bingung dengan apa yang sedang terjadi padanya. Rasanya apapun yang ia lakukan tak memiliki rasa, terasa hambar.

"kenapa?"

Ziva menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan sahabatnya itu.

"Lo berantem sama Anrez?"

Tiara mengangkat kedua halisnya dan menggelengkan kepala. ia sedikit terkejut dengan pemikiran Ziva.

"terus apa dong?"

"Ga tau Ziv, gue mulai ngerasa jenuh"

***

Mencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi yang harus ku pendam dalan mengagumi dirimu~

Hanya bermodalkan ukulele seorang gadis berjalan dari satu kursi ke kursi yang lain, tak banyak yang ia dapat tapi senyumnya tak pernah luntur seakan ia sangat menikmati pekerjaan nya sebagai seorang pengamen.

"Woy copet!!"

terlihat seorang anak laki-laki yang tengah di kejar sekerumunan orang.

Perempuan tadi langsung menarik tangan anak itu dan berlari dengan cepat melewati gang-gang sempit yang terlihat kumuh.

Nafas mereka memburu, keduanya tengah berjongkok diantara tumpukan ban-ban usang yang bisa dijadikan tempat untuk bersembunyi.

Dirasa aman, perempuan tadi langsung menarik tangan anak itu dan memukulnya dengan ranting.

"Kenapa nyopet hah! kakak ga pernah ajarin kamu mencuri!"

"ampun kak Lily, sakit"

Sekeras apapun ia mendidik adiknya tapi air mata sang adik adalah kelemahan nya.

Lily membuka telapak tangan nya di depan sang adik.

"Mana?"

Dengan wajah murung adiknya meletakan dompet berwarna pink diatas tangan Lily.
Ia membuka dompet itu dan tersenyum saat melihat masih ada kartu identitas disana.

"Kak Lily harus balikin dompet ini"

Lily berbalik dan hendak pergi namun langkah nya terhenti saat melihat suara yang berasal dari perut adiknya.

Ia berbalik dan melihat adiknya yang tengah menunduk sambil memegang perutnya.

Lily berjongkok menyamakan tingginya dengan sang adik. Ia mencari sesuatu di dalam saku kemejanya, uang kertas lima ribu rupiah hasil ia mengamen, ia memberikan uang itu pada adiknya.

"ini, beli roti aja, pulang anter dompet kak Lily mau ngamen lagi, terus beli makanan buat nanti kamu makan."

Adiknya hanya mengangguk dan Lily pun pergi untuk mengembalikan dompet tadi pada pemiliknya.

***

"iya terus gimna?"

"kok gimna sih?"

Tiara terlihat kesal pada suaminya, saat ini ia sedang mengadu pada suaminya lewat telepon.

"Dompetku loh ini, isinya penting semua"

"iya nanti aku urusin"

"Sekarang"

"ga bisa sekarang, aku lagi banyak kerjaan"

Tiara semakin kesal dibuatnya, ia langsung menutup sambungan telepon nya.

"Aaah kesel!"

Tiara memukul-mukul bantal sofa milik Ziva.

"Ya udah Ti, besok paling Anrez langsung urus" Ziva mencoba menenangkan sahabatnya itu.

"coba aja tadi gue dengerin saran lo buat makan siang di kantin kantor aja"

Tiara masih cemberut, ia menyayangkan tidakan nya yang kurang hati-hati.

"Ya udah, namanya juga musibah, kalau masih rezeki lo nanti juga balik"

****

Melodi TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang